PANDANGAN TOKOH AGAMA TENTANG KONSEP STIFIN
Dr. Jeje Zainuddin
Ketua MUI Periode 2020-2025
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Persis
Pada prinsipnya Konsep STIFIn tidak termasuk dalam kategori kahānah (perdukunan/ peramalan), karena substansinya jelas berbeda. Memahami dalil tentang perdukunan/ peramalan itu harus dilihat dari dua aspek yang berbeda. Kalau hanya dari satu dalil, maka banyak bentuk ilmu seperti sekarang, misalnya astronomi, ini termasuk nujum (perbintangan). Dalam Hadits disebutkan;
مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُوْمِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barangsiapa mempelajari satu cabang dari ilmu nujum, maka sesungguhnya ia telah mengambil satu bagian dari ilmu sihir, semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari), semakin bertambah pula (dosanya).”
Jika hanya dilihat dari satu sisi, tentu membuat kalender pun akan dihukumi haram. Ini merupakan cara berpikir pertama. Umumnya dikenal dengan pandangan tekstualis (terbatas pada satu konteks dalil). Sehingga tidak melihat paradigma lain yang ada juga dalilnya. Ahli hisab juga termasuk ilmu nujum dan akhirnya dapat dianggap haram. Padahal ada dalil lain yang menerangkan, bahwa diciptakannya bintang dan matahari untuk mengetahui hitungan tahun dan waktu.
وَجَعَلْنَا ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ ءَايَتَيْنِ ۖ فَمَحَوْنَآ ءَايَةَ ٱلَّيْلِ وَجَعَلْنَآ ءَايَةَ ٱلنَّهَارِ مُبْصِرَةً لِّتَبْتَغُوا۟ فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا۟ عَدَدَ ٱلسِّنِينَ وَٱلْحِسَابَ ۚ وَكُلَّ شَىْءٍ فَصَّلْنَٰهُ تَفْصِيلًا
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.”
Berdasarkan dalil ini maka timbul pemahaman ulama lain, nujum itu melahirkan astrologi dan astronomi. Menjadi haram ketika tanggalnya dikaitkan dengan nasib seseorang. Ini yang termasuk astrologi.
Begitupun dengan ilmu karakter seseorang. Allah berfirman;
وَفِىٓ أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Semua tubuh seseorang mengandung tanda-tanda. Tergantung ilmu yang dipakai. Apalagi jari tangan sudah ada isyaratnya dari al-qur’an. Tidak bisa hanya menggunakan satu dalil kemudian berkesimpulan langsung. Begitulah paradigmanya.
Saya menganjurkan, “kalau bisa dites itu lebih baik.” Bakat, minat dan karakter dapat diketahui, sehingga lebih mudah seseorang untuk diarahkan, mudah diberi tugas dan posisi yang sesuai minat bakatnya.
Terkait referensi Konsep STIFIn yang juga didasarkan pada teori-teori psikologi barat, maka sebenarnya Islam itu tidak mempersoalkan dari mana sumbernya. Bahkan di Islam dikenal suatu ungkapan;
الْحِكْمَةُ ضَالَّةُ الْمُؤْمِنِ، حَيْثُمَا وَجَدَهَا أَخَذَهَا
“Hikmah itu adalah suatu yang hilang dari seorang mukmin, dimana saja ia mendapatkannya maka ia mengambilnya”.
Salah satu sebab kemunduran Islam adalah ketika terlalu mengategorikan ini ilmu islam, dan ini ilmu kafir. Ilmu itu ada yang sifatnya qauliyyah (kalam ilahi) bersumber dari wahyu. Ada juga yang kauniyah (tanda-tanda alam semesta). Ilmu kauniyah merupakan ilmu alat. Allah tidak mengajarkan secara langsung, tetapi Allah tunjukkan melalui makhluq-Nya. Allah mendorong manusia untuk menyelidiki dan mempelajarinya.
Ketika muslim apriori terhadap ilmu kauniyah, sehingga orang lain yang mempelajarinya. Akhirnya kita belajar dari orang lain, padahal dulunya mereka belajar dari muslim. Muslim belajar terdorong dari al-qur’an.
Ilmu merupakan karunia Allah. Siapapun yang mencarinya -tidak peduli dia muslim atau kafir-, Allah berikan pengetahuan dunia itu, untuk kemaslahatan dunia, tapi tidak menjamin kemasalahatan akhirat. Sebab hakikat ilmu itu dari Allah,
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu.”
Prinsipnya, ilmu itu dari Allah. Makanya tidak peduli dari mana, asalkan dibuktikan benar, sesungguhnya itu dari Allah. Adapun yang tidak boleh itu mengambil sumber aqidah, hukum, dan ibadah selain dari Islam bukan dari al-qur’an dan sunnah.
Intinya secara aqidah dan hukum, (Konsep STIFIn, red) tidak ada yang menentang syari’ah, bahkan dalam aspek tertentu dapat membantu dalam proses belajar syari’ah. Misalnya ketika orang belajar syari’ah itu yang tepat bagaimana. Misalnya Thinking lebih berpotensi cakap ketika belajar hadist, dan lain sebagainya.
Konsep STIFIn ini merupakan ilmu yang daqiiq (dalam). Ilmu ini pasti sangat dibutuhkan. Bahkan banyak orang yang tidak sadar kalau ia pun dipengaruhi oleh ilmu tersebut. Ia termasuk hikmah. Makanya perlu ada diskusi multidisipliner, saling melengkapi disitulah ilmu akan sempurna.
Sesungguhnya ilmu itu kan satu, bersumber dari ‘alim (Maha Mengetahui), Allah. Hanya manifestasi ilmu itu luas. Bagaimana dari satu menjadi realitas kompleks. Tidak semua manusia mampu menarik kompleksitas itu. Akhirnya masing-masing kita mengambil peran. Justru kita akan tersesat ketika kita terlepas dari yang lain.
Ilmu yang menjadi produk itulah wujudnya penciptaan. Konsep STIFIn ketika dibahas dari banyak sisi, ternyata lebih dekat dengan Islam. Itulah bukti, bahwa Islam adalah agama yang sempurna, syamil (menyeluruh), kamil (sempurna), mutakamil (menyempurnakan). Ilmu akan membuka tabir. Allah adalah kebenaran, dan dari Allah lah sumber kebenaran. Semua orang berusaha mencari kebenaran, tapi ada yang sampai dan ada yang tidak.
Dalam Islam manusia banyak kelemahan, tapi pasti punya kelebihan. Makanya harus fokus dengan kelebihan diri sendiri. Tidak ada konsep manusia sempurna. Itulah mengapa Nabi pun bermusyawarah. Ini sebagai contoh, bahwa tidak boleh manusia menganggap dirinya tahu segalanya.
Kecerdasan yang satu dapat menerangi yang lain. Apapun kecerdasannya tetap terhubung ke Pemberinya, Allah. Maka penting untuk melejitkan potensi orang. Optimalisasi dan maksimalisasi. Perlu mencari tahu, karena ada orang yang dengan sendirinya menemukan. Tapi ada juga yang sampai wafat tidak menemukan. Akhirnya kita paksakan ia berada di tempat yang bukan lingkungannya.
Terkait sidik jari terdapat banyak rahasia itu pasti. Allah firmankan,
بَلَىٰ قَادِرِينَ عَلَىٰ أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ
“Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”
Kedua secara faktual, telah banyak orang yang menggunakan sidik jari. Bahkan tandatangan dapat dipalsukan. Sidik jari tidak. Seluruh dunia diyakini, bahwa hanya satu-dua orang yang mirip sidik jarinya. Artinya, Allah simpankan kode rahasia di sidik jarinya. Kalau kode barang, ada barcode (kode yang berbentuk garis dan spasi). Allah tidak jelaskan dalam qur’an bagaimana membongkar barcode itu, maka manusia bertugas menyelidiki pada bagian-bagian tubuh manusia.
Tinggal pertanyaannya, rumus-rumus ini bagaimana bisa muncul? Apakah dilakukan secara deduktif atau induktif? Walaupun biasanya induktif. Mengkaji STIFIn sangat berkaitan dengan profesi saya saat ini yang fokus pada permasalahan fiqih, ijtihad, dan lainnya.
Agus Fadilla Sandi
0857-1234-1477