BOLEHKAH MEMBOARDING ANAK SEBELUM AQIL BALIGH?
“Memang memboarding atau meng-asrama kan anak yang belum berusia aqilbaligh, ada landasan syariah dan ilmiahnya?”
Banyak riset modern yang meneliti anak anak yang berpisah dari orangtuanya sejak dini diantara usia 3-13 tahun, menemukan bahwa pemisahan ini memicu kesedihan dan kecemasan mendalam (anxiety), ketidakpercayaan pada hubungan dekat atau memiliki masalah kelekatan (attachment), Luka kejiwaan (psychology damage), ketidakpekaan, penolakan (avoidance), masalah elitisme dan seterusnya.
Prinsip dibalik munculnya teori kelekatan ini adalah kebutuhan akan perasaan aman sebagai bagian dari fitrah manusia. Perasaan aman yang dihasilkan dari kelekatan yang positif (secure attachment) memiliki hubungan erat dengan kemampuan untuk mengembangkan kreatifitas dan eksplorasi (menguasai lingkungan).
Attachment atau kelekatan bukanlah kebutuhan anak yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan anak lebih cepat, tetapi merupakan kebutuhan yang terpendam sepanjang hidup manusia.
Hasil interpretasi pengalaman secara terus menerus dan interaksi seseorang anak dengan figur lekatnya terutama ayah ibunya, akan membentuk pensikapan (internal working model).
Dijumpai bahwa anak anak yang merasa secure aman dan nyaman bersama kedua orangtuanya sejak dini sampai usia 13-14 tahun atau aqilbaligh, maka selama masa anak anaknya itu akan memiliki emosi positif, mandiri, ceria, memilih orangtuanya daripada orang asing dan seterusnya.
Lalu ketika mereka dewasa akan lebih mudah menjalin hubungan yang panjang dan penuh kepercayaan, nyaman berbagi dengan banyak orang, memiliki kepercayaan diri (self esteem dan self efifacy) yang tinggi, mudah mencari dukungan sosial dan seterusnya.
Begitupula sebaliknya, seorang psikoterapis Nick Duffell, mengatakan: ‘Selamat’ memboarding, karena secara kolektif anak boarding school paling sering menunjukkan gaya avoidant (penolakan kedekatan positif), melihat diri mereka seolah mandiri, kebal terhadap perasaan keterikatan dan tidak membutuhkan hubungan dekat.
Seringkali mereka menekan perasaan mereka, menutupi penolakan dengan menjauhkan diri dari mitra atau merasa tidak nyaman dengan kedekatan emosional atau fisik.
Sebagai catatan, Nick Duffell adalah seorang psikoterapi bagi mantan asrama selama 25 tahun dan juga seorang mantan guru sekolah asrama yang pernah diasramakan.
Joy Schaverien, dalam makalahnya ‘Boarding School: The Trauma of the Privileged Child’, dia mengklaim telah mengidentifikasi sesuatu yang disebut dengan Boarding School Syndrome, yaitu disfungsi emosional yang berasal terutama dari trauma pemisahan awal seseorang dari orang tua, yang memanifestasikan dirinya dalam masalah kedekatan hubungan di kemudian hari.
Schaverien mengatakan bahwa orang tua telah membangkrutkan dirinya dengan mengasramakan anaknya ke sekolah ketika anak anak mereka sesungguhnya hanya bocah. Ini adalah beban yang berat bagi anak.
Hal itu seperti mengirim anak ke perawatan. Memang di asrama ada selimut di tempat tidur dan anak anak diizinkan memilki boneka beruang tapi itu tidak menjadi pembenaran bahwa anak-anak harus meninggalkan ibu mereka, sebagai kelekatan utama mereka, karena anak anak itu pada dasarnya masih bocah semata.
Lalu mengapa banyak orangtua berbondong bondong mengirim anaknya bahkan sejak sekolah dasar untuk diboarding?
Sepuluh alasan terbesar memboarding anak diantaranya adalah fasilitas yang mewah, elitisme sosial, persaingan dan yang utama umumnya membangun benteng perlindungan terhadap anak anak dari lingkungan alias sterilisasi. Lantas apakah alasan alasan ini bisa dibenarkan secara syar’i?
sumber “FITRAH BASED EDUCATION by Alm. Harry Susanto”