Pemimpin EQ tinggi
Seorang suami pulang kerumah dan mendapati istrinya bersama seorang lelaki yang bukan mahramnya. Pasti mendidih darah suami dan wajar terucap talak. Sakit hati tidak terperikan, istri yang dicintai telah mengkhianatinya. Kawan saya tersebut akhirnya memaafkan mantan istrinya dan melupakan kejadian tersebut. Justru bikin lega dan memberi kekuatan untuk move on. Berangkat dari hati yang lapang, lisan mengucap memberi maaf, akal melupakan kejadian pilu tersebut dan diikuti tindakan move on. Terjadilah empat hal yang segaris.
Umat marah terhadap puisi kidung ibu lebih merdu dari adzan dan konde lebih indah dari kerudung, sebagai semangat pembelaan terhadap agama. Pemimpin yang baik harus memiliki kepekaan sosial terhadap semangat pembelaan tersebut. Jika ada pemimpin yang mengecam dan menuntut agar puisi itu ditarik, maka ia telah mempraktikkan empat hal segaris. Berangkat dari hati yang peka, kemudian lisan mengecam, akal memberi hujjah dan ditingkahi dengan aksi menuntut puisi ditarik.
Posisi hati yang mendorong terjadinya empat hal segaris itulah yang disebut sebagai EQ (Emotional Quotient). Yaitu memaafkan kesalahan besar dan atau memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Jika posisi hati itu menjadi sumber energi menjadikan empat hal segaris seperti pada dua kasus diatas maka hal itu menjadi ukuran seseorang memiliki EQ tinggi. Sebaiknya, disebut memiliki EQ rendah jika terjerat dalam dendam sakit hati dan sama sekali tidak memiliki kepekaan sosial.
Masyarakat indonesia yang bergenetik feeling akan cenderung melahirkan masyarakat memiliki EQ tinggi. Apa betul begitu? Takarlah pada EQ pemimpinnya. Karena pemimpin adalah cerminan masyarakat. Sudah pernah muncul pemimpin seperti itu dan menunggu lagi yang seperti itu. Tinggal tunggu waktu.
Jika sekarang belum muncul lagi pemimpin seperti itu maka berarti peradaban masyarakat belum mempraktikkan empat hal segaris tersebut
Referensi
Telaah bapak farid poniman, penemu STIFIn