Jalan menuju surga bagi wanita adalah amat mudah. Cukup taat dan bakti pada suami, itu sudah memudahkan jalannya. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih). Tulisan kali ini akan mengulas lanjutan dari tulisan sebelumnya, mengenai kewajiban istri yang menjadi hak suami. Semoga Allah memudahkan setiap wanita muslimah mengamalkannya.
Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya
“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)
Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا –
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715)
Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34). Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta suami. Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”
Kesembilan: Bersyukur dengan pemberian suami
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Ta’ala.
Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907). Lihatlah bagaimana kekufuran si wanita cuma karena melihat kekurangan suami sekali saja, padahal banyak kebaikan lainnya yang diberi. Hujan setahun seakan-akan terhapus dengan kemarau sehari.
Kesepuluh: Berdandan cantik dan berhias diri di hadapan suami
Sebagian istri saat ini di hadapan suami bergaya seperti tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).
Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, memiliki sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)
Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Keempatbelas: Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami
Kelimabelas: Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta untuk ditalak kecuali jika ada alasan yang benar
“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Keenambelas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10 hari
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)[2]
Supaya mengimbangi pembahasan ini, nantikan bahasan mengenai kewajiban suami yang menjadi kewajiban istri. Semoga Allah mudahkan untuk menyusunnya.
Al-Qur’an sebagai salah satu pedoman yang mewartakan prinsip dan doktrin ajaran Islam mempunyai apa yang disebut dengan kepastian teks (qat’i al-wurud). Dalam proses menjaga kepastian teks tersebut, terdapat peran serta manusia yang salah satu caranya dengan menghafalkan alQur’an.
Namun, menghafal al-Qur’an tidak semudah yang dibayangkan sebagaimana menghafal suatu lagu atau syair. Problem yang dihadapi oleh seseorang yang sedang menghafal al-Qur’an memang banyak dan bermacam-macam.
Mulai dari faktor minat, bakat, lingkungan, waktu, sampai pada metode menghafal itu sendiri. Metode STIFIn sebagai salah satu metode menghafal al-Qur’an dalam implementasinya menawarkan solusi menghafal cepat yang dilakukan mulai sebelum proses menghafal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam implementasinya, dengan cara memetakan penghafal berbasis pada teori hereditas, sehingga berimplikasi pada rekayasa pembelajaran yang berbeda antar masingmasing potensi.
Demikian pula dengan tes kemampuan hafalan guna mengetahui kekuatan dan kemampuan masing-masing dalam menghafal alQur’an. Hal tersebut kemudian diikuti dengan klasifikasi penghafal alQur’an berdasarkan teori sirkulasi STIFIn ketika melaksanakan kegiatan setoran kepada pembina,
sehingga dalam pelaksanaan metode STIFIn sangat membantu santri untuk bisa menghafal al-Qur’an dengan lebih mudah dan nyaman, karena menyesuaikan metode dengan potensi genetik masing-masing.
Kata Kunci: Metode STIFIn; Menghafal Al-Qur’an; Genetik.
A. Pendahuluan
Dewasa ini, menghafal al-Qur’an bukanlah hal yang tabu bagi sebagian umat muslim. Berbagai event lomba hafalan al-Qur’an marak dilaksanakan di berbagai acara bahkan di beberapa stasiun televisi terkenal yang secara rutin mengadakan tayangan perlombaan tahfidzul Qur’an pada bulan suci ramadhan dimana pesertanya diikuti mulai dari tingkat anak-anak hingga dewasa.
Menghafal al-Qur’an adalah sebuah upaya untuk memudahkan seseorang dalam memahami dan mengingat isi-isi al-Qur’an dan untuk menjaga keautentikannya serta menjadi sebuah amal shaleh bagi umat Islam.
Adapun salah satu penjagaan Allah SWT terhadap Al-Qur`an adalah dengan memuliakan para penghafalnya. Nabi Muhammad pernah bersabda akan keutamaan bagi penghafal al-Qur’an sebagaimana berikut:
عنأبيهريرةعنالنبيصلىاللهعليهوسلللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللللل ا : “ يجيءال رآنيومال يامةفي ولياربحلهفيلبسللللللللللللللللللللللل ا ال رامة ي وليارب زدهفيلبسحلةال رامة ي ولياربارضعنهفيرضللللللللللللللللللللىعنهفي اللها ر و ار وتزادب أليةحسنة ”. (رواهال ؤمذي)
“Penghafal al-Qur`an akan datang pada hari kiamat, kemudian al-Qur`an akan berkata: ‘Wahai Tuhanku, bebaskanlah dia.’ Kemudian orang itu dipakaikan mahkota karamah (kehormatan). al-Qur`an kembali meminta: ‘Wahai Tuhanku tambahkanlah.’ Maka, orang itu dipakaikan jubah karamah. Kemudian al-Qur`an memohon lagi: ‘Wahai Tuhanku, ridhailah dia.’ Maka Allah SWT meridha nya. Dan diperintahkankepada orang itu: ‘Bacalah dan teruslah naiki (derajat-derajat surga).’ Dan Allah SWT menambahkan dari setiap ayat yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan. (HR. Tirmidzi). 1
Dengan nikmat dan kemuliaan tersebutlah yang menyebabkan umat muslim berlomba-lomba dalam menghafalkan al-Qur’an. Namun menghafal alQur’an tentu tidak semudah menghafalkan lagu dan syair.
Dalam proses menghafal al-Qur’an suatu metode sangatlah penting agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Tanpa metode maka suatu pembelajaran akan sia-sia, begitu juga dengan menghafal al-Qur’an.
Metode menghafal al-Qur’an adalah cara atau jalan yang harus dilalui atau ditempuh dalam proses menghafal al-Qur’an agar dapat menghafal dengan baik dan lancar. Problem yang dihadapi oleh seseorang yang sedang menghafal al-Qur’an memang banyak dan bermacammacam.
Mulai dari faktor minat, bakat, lingkungan, waktu, sampai pada metode menghafal itu sendiri. Namun pada pembahasan ini, yang menjadi suatu permasalahan adalah ketika seseorang menghafal menggunakan cara yang tidak sesuai dengan sistem kinerja otak, pada akhirnya akan menyebabkan hafalan mudah lupa bahkan orang tersebut merasa tertekan selama proses menghafal.
Ini dapat disebabkan karena setiap manusia memiliki sistem kinerja otak dan kepribadian yang berbeda-beda, maka memerlukan penanganan yang berbedabeda pula sesuai dengan kinerja otak masing-masing dalam proses menghafal alQur’an.
Di Pondok Pesantren Nurul Jadid khususnya wilayah Al-Mawaddah Paiton Probolinggo, kini telah menjadi salah satu tempat cabang rumah AlQur’an STIFIn, dimana dalam proses menghafalnya menggunakan suatu metode berdasarkan konsep STIFIn yang berkaitan dengan sistem kinerja otak atau yang dikatakan dengan mesin kecerdasan masing-masing anak.
Dibukanya rumah Qur’an STIFIn yang memiliki target capaian 8 bulan ini dilatar belakangi oleh keinginan pemangku wilayah al-Mawaddah untuk memberikan wadah bagi santri pondok pesantren Nurul Jadid maupun luar pondok yang ingin menghafalkan al-Qur’an secara fokus, tanpa ada kegiatan sambilan di lembaga lainnya dengan menggunakan metode STIFIn.
Metode STIFIn ini merupakan penerapan dari konsep STIFIn yang mengkompilasi dari teori-teori psikologi, neuroscience, dan ilmu sumberdaya manusia. Prinsip besarnya mengacu kepada konsep kecerdasan tunggal dari Carl Gustaav Jung.
Cara mengetahui mesin kecerdasan ini dengan STIFIn Fingerprint, sebuah tes yang dilakukan dengan cara men-scan kesepuluh ujung jari untuk mendapatkan sidik jari dengan alat fingerprint.
Sidik jari yang membawa informasi tentang komposisi susunan syaraf tersebut kemudian dianalisa dan dihubungkan dengan belahan otak tertentu yang dominan berperan sebagai sistem operasi dan sekaligus menjadi mesin kecerdasan seseorang.
Menurut konsep STIFIn, bukan belahan otak yang memiliki kapasitas paling besar yang dianggap dominan, melainkan yang kerap digunakan, paling aktif berfungsi, paling otomatis digunakan, dan menjadi bawah sadar manusia.
Konsep STIFIn menyebutnya sebagai sistem operasi otak yang terdiri dari kecerdasan sensing, thinking, intuiting, feeling, dan insting.
Mengingat, urgensi sistem operasi otak sebagaimana dijelaskan di atas, maka pembahasan tentang implementasi metode STIFIn yang berbasis sistem operasi otak dalam pembelajaran dan menghafal al-Qur’an menjadi cukup penting untuk dibahas sebagai upaya diseminasi pengetahuan tentang metode menghafal al-Qur’an dengan cepat.
B. Metode Pembelajaran Al-Qur’an Berbasis Sistem Operasi Otak dalam Konsep STIFIn
Metode merupakan cara sistematis dan terfikir secara baik untuk mencapai tujuan, prinsip, dan praktik-praktik pengajaran. 2 Sunhaji mengemukakan bahwa metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berasal dari kata “meta” dan “hodos”.
Kata meta berarti melalui sedangkan kata hodos berarti jalan, sehingga metode berarti jalan yang harus dilalui, cara melakukan sesuatu atau prosedur. 3 Sedangkan menurut Novan Ardi W, metode dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah yang diambil seorang pendidik guna membantu peserta didik merealisasikan tujuan tertentu.
4 Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal.
5 Metode merupakan suatu teknik penyampaian bahan pelajaran kepada murid yang dimaksudkan agar murid dapat menangkap pelajaran dengan mudah, efektif, dan dapat dicerna oleh anak dengan baik.
6 Makin baik sebuah metode, makin efektif pula fungsinya sebagai alat pencapaian tujuan. Menurut Syaiful Bahari Djamarah, keanekaragaman metode pembelajaran disebabkan oleh pengaruh berbagai faktor, di antaranya:
(1) Tujuan dengan berbagai jenis dan fungsinya; (2) Peserta didik dengan berbagai tingkat kematangannya; (3) Situasi dalam pembelajaran dengan berbagai keadaanya; (4) Fasilitas yang mendukung pembelajaran dengan berbagai kualitas dan kuatitasnya; (5) Pribadi guru serta kemampuan profesionalitas yang berbeda-beda.
5 Dari keterangan di atas dapat diperoleh suatu pengertian metode yang berupa cara mengajar yang telah disusun berdasarkan prinsip dan sistem tertentu. Sedangkan pembelajaran menurut Gagne sebagaimana dikutip oleh Benny A.
Pribadi mendefinisikan istilah pembelajaran sebagai “a set of events embedded in purposeful activities that facilitate learning” yang mempunyai makna bahwa pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya proses belajar.
Benny A. Pribadi menjelaskan bahwa pembelajaran adalah proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan terjadinya aktivitas belajar dalam arti diri individu, dengan kata lain pembelajaran merupakan sesuatu hal yang bersifat eksternal dan sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya proses belajar internal dalam diri individu.
8 Pembelajaran, berasal dari “belajar” yang berarti proses atau cara menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Kata belajar ditambahi imbuhan “pe-an” menjadi pembelajaran yang berartu suatu proses, perbuatan, atau usaha untuk belajar.
Menurut Sunhaji Pembelajaran adalah sesuatu usaha untuk membuat siswa belajar sehingga situasi tersebut merupakan peristiwa belajar (event of learning), yang berupa usaha dalam terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa.
Pada intinya pembelajaran adalah sebuah interaksi antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar.
9 berdasarkan uraian definisidefinisi tersebut, maka metode pembelajaran al-Qur’an adalah suatu cara pembelajaran al-Qur’an dengan menggunakan segala aspek proses belajar mengajar sehingga mendapatkan perubahan-perubahan yang lebih baik dalam kemampuan memahami al-Qur’an.
Adapun sejarah perjalanan konsep STIFIn dimulai kurang lebih 13 tahun yang lalu, lebih tepatnya pada tahun 1999, ketika Farid Poniman bersama partner-nya, Indrawan Nugroho, yang kemudian diikuti oleh Jamil Azzaini mendirikan lembaga training Kubik Leadership.
Lembaga training tersebut setiap memulai program trainingnya terlebih dahulu memetakan peserta training sesuai dengan jenis kecerdasannya. Sebagai konsep, STIFIn kala itu dapat dibilang masih embrio.
Dalam perjalanannya, perbaikan konsep dilakukan disana-sini seiring dengan berkembangnya penyelenggaraan training Kubik Leadership. Namun, kala itu, tesis atau hipotesisnya sudah matang dan kukuh bahwa manusia memiliki kecerdasan genetik.
Berapa persisnya, itulah yang disebut terus dengan proses transformasi yang berkesinambungan. Pada awalnya, Farid Poniman menggunakan
empat kecerdasan yakni S, T, I, dan F seperti kita dapat baca dalam buku best seller Kubik Leadership. Pergulatan intelektual dan penyempurnaan terus dilakukan oleh Farid Poniman, sebelum terbitnya buku ke DNA Sukses Mulia yang akhirnya berujung pada penemuan kecerdasan ke lima,
yakni In. Sekarang STIFIn sudah final dengan 5 mesin kecerdasan dan 9 personality genetik. Dengan demikian, bahwa tidak akan ada lagi jenis kecerdasan ke-6 dan tidak akan ada personaliti genetik yang ke-10.10 Setelah dilakukan riset untuk sekian lama, kini konsep STIFIn sudah sangat kokoh.
Kekuatan utamanya terletak pada konsep yang simpel, akurat, serta aplikatif.11 Jadi, konsep STIFIn memetakan dari 5 belahan otak manusia, 1 yang menjadi dominan. Menjadi pengendali manusia, pembentuk bakat alaminya.
STIFIn adalah uraian dari sensing (disingkat S), thinking (disingkat T), intuiting (disingkat I), feeling (disingkat F), insting (disingkat In). Dalam konsep tersebut, Farid Poniman memetakan gaya belajar masing-masing sebagai berikut:12
1. Sensing memiliki gaya belajar menghafal, kebiasaan bermain, kehebatan pada otot, fokus pada pelajaran, kunci sukses dengan meningkatkan frekuensi, sumber kekuatannya otot, fungsi tubuh pada muskuler, konstitusi tubuhnya atletis, DNAnya adenin, stimulus jenis darahnya AB, dan kemistri dirinya tanah sehingga cenderung pada harta dengan peran sosial yang stabil, dan menyimpan kekayaan.
Cara belajar terbaik sensing adalah dengan mencontoh. Menggunakan panca indera untuk merekam bagaimana orang terbaik melakukannya, kemudian mencontoh. Melakukan upcopy jika memungkinkan, memperbanyak jam terbang, semakin sering melakukannya
maka semakin mahir. Mulai dari yang kecil-kecil lalu melakukan peningkatan secara incremental.
2. Thinking memiliki gaya belajar menghitung, kebiasaannya serius, kehebatan pada logika, fokus pada persahabatan, kunci suksesnya dengan menyusun prioritas, sumber kekuatannya tulang, fungsi tubuhnya cerebral, konstitusi tubuhnya piknis, DNAnya guanin, stimulus jenis darahnya A, kemistri dirinya besi sehingga cenderung ke tahta dengan peran sosial pada kekuasaan, tegas, dan mandiri.
Cara belajar terbaik thinking adalah dengan menggunakan kemampuan otak kirinya untuk menganalisa. Melakukan observasi terhadap sebuah proses kerja atau tugas, kemudian menemukan kelemahannya, memperbaiki dan melihat hasilnya.
Diulangi terus hingga melihat hasil yang positif. Mempelajari buku manual, melihat dan menguasai struktur dan prosesnya. Menggunakan sebanyak mungkin data untuk menyempurnakan analisa.
3. Intuiting memiliki gaya belajar mempolakan, kebiasaannya usil, kehebatannya adalah kreatif, fokus pada imajinasi, kunci suksesnya memperbaiki kualitas, sumber kekuatan pada pencernaan, fungsi tubuhnya digestif, konstitusi tubuhnya asthenis,
DNAnya timin, stimulus jenis darahnya B, kemistri dirinya kayu sehingga cenderung ke kata dengan peran sosialnya kreatif, berkelas, berilmu, dan berpengaruh dalam kata. Cara belajar terbaik intuiting adalah dengan menggunakan kemampuan otak kanannya dalam mencari ide dan pola.
Ide dan pola dapat ditemukan dari mana saja, buku, film, majalah, atau televisi. Selalu mencari hal yang baru dari apa yang dilihat, didengar, atau dibaca.
Menemukan pola dari apa yang sudah dipelajari dan menghubungkan dengan ilmu yang ingin dikuasai. Imajinasi dan kreativitas adalah modal terbesarnya.
4. Feeling memiliki gaya belajar mendengarkan, kebiasaannya santai, kehebatan dalam berbicara, fokus pada peranan, kunci suksesnya memimpin diri, sumber kekuatannya pernafasan, fungsi tubuhnya respiratoris, konstitusi tubuhnya displastis, DNAnya sitosin, stimulus jenis darahnya O,
kemistri dirinya api sehingga cenderung ke cinta dengan peran sosial yang berkobar, mood, dan perasaan cinta. Cara belajar terbaik feeling adalah melalui orang. Mendapatkan inspirasi atau pemahaman melalui orang lain.
Memperbanyak aktivitas diskusi, khususnya dengan orang-orang yang menguasai ilmu yang hendak dikuasai. Memilih buku-buku, artikel, atau biografi yang terkait dengan orang-orang tersebut dan menemukan bagaimana mereka mengaplikasikan ilmu tersebut.
5. Instinct memiliki gaya belajar merangkum, kebiasannya ikut campur, kehebatannya serba dapat, fokus pada penampakkan, kunci suksesnya undiri & Irma Zahra Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) Volume 5 Nomor 2 (2017) ISSN(p) 2089-1946& ISSN(e) 2527-4511 Hal. 208 – 223 menolong teman, sumber kekuatannya keseimbangan,
fungsi tubuhnya sirkuler, konstitusi jasmaninya stenis, DNAnya seimbang antara adenin, guanin, timin dan sitosin, stimulus jenis darahnya di antara AB, A, B dan O, kemistri dirinya air sehingga cenderung bahagia dengan peran sosial pada perdamaian (juru damai) dan kebahagiaan.
Cara belajar terbaik instinct adalah dengan merespon secara cepat dan spontan kebutuhan yang dituntut dari sebuah keadaan, terutama yang terkait dengan ilmu yang ingin dikuasai. Keserbabisaan akan sangat membantu cara belajar.
Menggunakan kelebihan dalam hal kesediaan untuk berkorban, dengan menolong orang lain mengerjakan pekerjaan yang memerlukan ilmu/keterampilan yang ingin dikuasai.
Konsep STIFIn diperkenalkan oleh Farid Poniman dengan mengkompilasi dari berbagai teori psikologi, neuroscience, dan SDM. Prinsip besarnya mengacu kepada konsep kecerdasan tunggal dari C.G Jung.
Tes yang dilakukan dengan cara men-scan kesepuluh ujung jari (mengambil waktu tidak lebih dari satu menit). Sidik jari yang membawa informasi tentang komposisi susunan syaraf tersebut kemudian dianalisa dan dihubungkan dengan belahan otak tertentu yang dominan berperan sebagai sistem operasi dan sekaligus menjadi jenis kecerdasan.
Bahkan dari susunan syaraf tersebut masih dapat diprediksi letak dominasi mesin kecerdasan yang ada di lapisan otak berwarna putih atau di lapisan otak berwarna abu-abu.13 Tes sidik jari STIFIn mampu membedakan bakat mesin kecerdasan dan personality seseorang yang genetik secara nyata.
Bahkan susunan syaraf tersebut masih dapat diprediksi letak dominasi mesin kecerdasan yang dikemudikan dengan dua cara yang berbeda yaitu: kemudi introvert (i) atau ekstrovert (e). Mesin kecerdasan dengan kemudi i atau e itulah yang kemudian disebut dengan personality.
Tes mesin atau karakter kecerdasan STIFIn Personality merupakan tes mengenali mesin keceradasan yang dominan dimiliki oleh peserta didik. Pada dasarnya setiap peserta didik memiliki karakter kecerdasan yang dominan.
Karakter yang dominan itulah yang menjadi kekuatan utama untuk meningkatkan prestasi belajar.14 Inilah yang selanjutnya penting bagi peserta didik untuk mengetahui potensi/kekuatan yang ada pada dirinya dalam mengoptimalkan kemampuan.
C. Memori dan Kemampuan dalam Menghafal Al-Qur’an
Kata menghafal dari kata hafal yang artinya telah masuk di ingatan atau dapat mengucapkan diluar kepala (tanpa melihat buku atau catatan lain). Sedangkan menghafal artinya berusaha meresapkan ke dalam pikiran agar selalu ingat.
15 Pengertian al-Qur’an secara bahasa adalah bacaan, karena kata al-Qur’an adalah bentuk masdar dari fiil madhi ر- ر ي- ر . Sedangkan pengertian al-Qur’an secara istilah adalah kalam Allah SWT yang diturunkan ke hati Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur dalam bentuk ayat-ayat dan surat-surat selama fase kerasulan (23 tahun),
dimulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surah an-Nas, disampaikan secara mutawatir mutlak, sebagai bukti kemu’jizatan atas kebenaran risalah Islam.
16 Dapat ditarik kesimpulan bahwa kemampuan menghafal al- Qur’an adalah proses melafalkan dan meresapkan ayat-ayat alQur’an dalam pikiran agar dapat diingat dan lancar melafalkannya diluar kepala.
Dalam menghafal al-Qur’an, proses yang dijalani tidaklah mudah dan bahkan memakan waktu yang cukup lama bergantung pada kekuatan memori penghafal al-Qur’an.
Dalam hal ini, dikatakan tidak mudah karena yang dihafalkan dari sisi kuantitas yang tidak sedikit dan setidaknya terdiri dari 114 surat, 6.236 ayat, 77.439 kata, dan 323.015 huruf. Oleh karena itu, kekuatan memori yang ditunjang oleh personality merupakan hal yang sangat urgen dalam proses ini.
Di samping itu, setelah penghafal al-Qur’an menghafalnya, maka yang bersangkutan dihadapkan pada kewajiban dalam menjaga hafalannya.17 Sehingga bagi penghafal al-Qur’an, proses retrieval memori hafalannya tidak hanya dalam kategori short term memory.
Namun yang terpenting adalah retrieval dalam kategori long term memory. Demikian pentingnya kekuatan memori dalam menghafal al-Qur’an sehingga dalam upaya penguatan tentunya juga dibutuhkan suatu upaya dalam menjaga kesehatan otak yang akan berdampak positif terhadap memori dalam otak.
Upaya menjaga kesehatan otak tersebut dapat dilakukan dengan latihan fisik dan kegiatan yang mampu menstimulasi otak. Demikian pula dengan makanan yang sehat, kemampuan dalam mengelola stres, suplemen vitamin, tidur malam yang cukup, asam lemak omega-3, dan makanan lainnya yang menunjang kesehatan otak.
18 Memori berkaitan erat dengan proses belajar sehingga jika dikaitkan dengan menghafal al-Qur’an maka proses mengenal dan memahami melalui panca indera yang selanjutnya diubah menjadi simbol-simbol tertentu (encoding). Setelah proses encoding maka dilakukan proses penyimpanan (storage).
Bagian penyimpanan ini yang menurut Prihantini disebut dengan lobus temporalis, hipokampus, dan amigdala yang termasuk dalam sistem limbik dalam otak.19 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memori dalam proses menghafal al-Qur’an berfungsi untuk menerima, menyimpan, dan memproduksikan informasi ketika proses retrieval.
Proses mengingat dalam menghafal al-Qur’an berkaitan erat dengan memori, sehingga memungkinkan penghafal al-Qur’an dalam menyimpan hafalan untuk diingat kembali dalam beberapa saat kemudian atau untuk jangka waktu panjang.
Dalam pembagiannya, memori terbagi menjadi memori verbal (otak kiri dan memori visual (otak kanan).20 Dalam memori terdapat struktur ingatan, yang dalam pembahasan tentang memori dapat dibedakan menjadi tiga sistem ingatan; 1) sistem ingatan sensorik, 2) sistem ingatan jangka pendek(short term memory), dan 3) sistem ingatan jangka panjang (long term memory).
Memori sensorik berfungsi mencatat stimuli yang masuk melalui panca indera. Jika stimuli tersebut tidak diperhatikan maka akan segera hilang dan terlupakan.
Namun sebaliknya jika mendapat perhatian maka stimuli tersebut akan ditransfer ke memori jangka pendek yang hanya mampu menyimpan stimuli atau informasi selama 30 detik saja.
Selanjutnya, stimuli yang telah direkam dalam memori jangka pendek dapat ditransfer ke memori jangka panjang. Jika berhasil dalam proses retrieval memori jangka panjang, maka penghafal alQur’an seakan-akan hidup dalam dua masa, masa saat menghafal dan masa saat ini (ketika proses retrieval berlangsung)21.
D. Implementasi Metode STIFin dalam Meningkatkan Kemampuan Menghafal Al-Qur’an
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Rumah Qur’an STIFIn Paiton Probolinggo, yang berlokasi di wilayah Al-Mawaddah Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo dapat dikemukakan bahwa implementasi metode STIFIn dalam meningkatkan kemampuan menghafal al-Qur’an dilakukan dengan:
1. Diawali dengan tes potensi genetik Tes potensi dalam implmentasi metode ini dilakukan dengan tes sidik jari atau DNA yang mana berkaitan dengan teori hereditas. Hereditas merupakan kekuatan yang terbawa atau diturunkan oleh generasi tua kepada generasi muda melalui plasma benih atau gen.
Aspek-aspek yang diturunkan oleh orangtua kepada anak-anaknya adalah potensi intelektual, kepribadian, dan biologis. Ada beberapa prinsip hereditas yang perlu diketahui, yaitu: 22
Pertama, prinsip reproduksi. Prinsip ini menyatakan bahwa ciri-ciri yang diperoleh orang tua dari belajar tidak akan diturunkan kepada anak-anaknya.
Kedua, prinsip konformitas. Bahwa tiap-tiap jenis atau golongan (spesies) akan menghasilkan jenisnya sendiri. Misalnya, jenis manusia akan menghasilkan manusia lagi bukan jenis yang lain (binatang atau tumbuhan).
Ketiga, prinsip variasi. Bahwa setiap individu merupakan perpaduan antara gen yang dibawa oleh ayah dan ibunya. Hal ini yang meenjadi penentu perbedaan individual setiap orang.
Keempat, prinsip regresi filial. Menurut Francis Galton regresi filial merupakan sifat-sifat dari orangtua akan menghasilkan keturunannya dengan kecenderungan kepada sifat rataratanya.
Berbicara mengenai potensi genetik, mungkin akan menghadapi perdebatan klasik mengenai kepribadian manusia dalam dunia psikologi ataupun human resoures.
Perdebatan dua world-view, tentang mana yang lebih mempengaruhi kepribadian seseorang: genetic atau lngkungan (nature or nurture)? Persoalan ini telah menjadi salah satu pusat perhatian ilmu psikologi selama beberapa dekade belakangan ini,
yang berujung pada kesimpulan sementara, bahwa diri manusia seara perilaku dikendalikan 50% oleh gen sisanya oleh lingkungan di mana kita hidup. Sebagaimana rumus karakteristik manusia yang berlaku saat ini: 23
Gambar 1: Rumus Karakteristik Manusia Fenotif ( 100%) = Genetik (20%) + Lingkungan (80%) Fenotif merupakan gambaran siapa diri manusia seutuhnya, yang berupa hasil dari interaksi Genetik yang berkontribusi sekitar 20% dan lingkungan yang berkontribusi sekitar 80%.
Meskipun faktor tempaan lingkungan berkontribusi jauh lebih besar dibanding faktor genetik, namun yang perlu menjadi perhatian besar adalah kenyataan bahwa: genetic bersifat tetap, stabil, dan tidak berubah (sejak lahir hingga akhir hayat).
Sedangkan lingkungan bersifat fleksibel, tidak stabil, dan berubah-ubah. Dari pemahaman dasar itulah seharusnya diri manusia mengenal dulu karakter genetiknya.
Dengan begitu, proses pembentukan diri manusia akan cenderung tetap, stabil, tidak berubah, fokus, meningkat, dan pada performa terbaiknya. Meski genetik 20%, namun justru ialah yang paling aktif mencari 80% lingkungan, sehingga 100% fenotif itu sejatinya banyak dikontribusi oleh 20% genetik.
Jika faktor genetik sebegitu pentingnya untuk diri manusia ketahui sejak dini demi memudahkan diri manusia menjalani kehidupan –selain tentu saja sebagai wujud rasa syukur terhadap Sang Pencipta atas fitrah genetik yang telah diberikan, maka upaya-upaya untuk menyadarkan umat manusia untuk kembali ke nature, kembali kepada Sang Pencipta perlu dilakukan secara massif.
Maka mengenali potensi genetik atau mesin kecerdasan diri manusia cukup mudah. Dengan hanya melakukan scanning kesepuluh jari melalui perosedur Tes STIFIn Fingerprint, dan menunggu hasilnya yang hanya membutuhkan beberapa menit ketika pola-pola sidik jari ‘dibaca’ oleh komputer, dan akan segera diketahui apakah ber-mesin kecerdasan Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, atau Insting (STIFIn).
Dengan demikian, itulah genetika yang mungkin selama ini ada dalam diri yang kemudian seharusnya diasah oleh lingkungan yang tepat sebagaimana rumus STIFIn : “Kenali potensi Genetik, lalu Lingkungan dimaksimalkan untuk mengasah menjadi yang terbaik”.
24 Dengan mengetahui mesin kecerdasan, maka santri akan lebih mudah mengetahui metode menghafal al-Qur’an sesuai dengan potensi masing-masing.
2. Tes Kemampuan Menghafal Bagi santri Rumah Qur’an STIFIn al-Mawaddah, setelah diterima dan menjalani tahapan tes potensi genetik, maka langkah selanjutnya adalah mengikuti tes kemampuan menghafal,
yang mana santri diberi pilihan menghafal, yakni pilihan pertama dalam waktu 8 jam menghafal 5 halaman al-Qur’an dihitung dari jam 06.00 – 13.00, atau dalam waktu 2 jam menghafal 2 halaman al-Qur’an yang dihitung dari jam 07.00 – 09.00.
Apabila ada sebagian santri yang tidak mampu mencapai target, maka akan dilakukan pembiasaan awal selama 1 bulan.
3. Klasifikasi menggunakan teori Sirkulasi STIFIn. Setelah tes kemampuan menghafal, maka santri diklasifikasikan sesuai dengan mitra kecerdasan antar Pembina dengan santrinya. Dimana dalam pengelompokan disesuaikan dengan teori sirkulasi STIFIn.
Lima mesin kecerdasan membentuk sebuah mata rantai segilima mengikuti jarijari tangan kanan yang dimulai dari ibu jari hingga kelingking, bukan mengikuti urutan akronim STIFIn melainkan menggunakan urutan akronim STInIF (sesuai posisi jari tangan), sebagai sebuah aliran sirkulasi yang saling mendukung.
Tipe S yang rajin mendukung tipe T yang sistematis. Tipe T yang terarah mendukung tipe In yang mengalir. Tipe In yang cepat tanggap mendukung tipe I yang banyak ide. Tipe I yang konseptor mendukung tipe F yang visioner.
Tipe F yang pandai memberi semangat mendukung tipe S yang tahan banting. Selain hubungan saling mendukung, lima MK juga dapat membentuk hubungan bintang lima sudut yang hubungannya saling menaklukkan.
Masih memakai pola jari tangan kanan dengan melompati satu mesin kecerdasan: Tipe S yang berstamina mengalahkan tipe In yang nanggung, Tipe In yang responsif mengalahkan tipe F yang banyak omong. Tipe F yang empatik mengalahkan tipe T yang formal berjarak. Tipe T yang memiliki kekuatan arah mengalahkan tipe I yang telalu banyak alternatif. Tipe I yang kreatif mengalahkan tipe S yang peniru.
Dengan mengetahui hubungan saling mendukung dan hubungan saling mengalahkan maka dapat membuat peta hubungan sosial: ideal atau tidak. Prinsip dalam mencari tangan kanan, guru, coach (pelatih), tutor, atau pendukung setia juga hampir sama yakni haruslah yang mendukung atau mundur selangkah (bayangkan segi lima tadi).
Lihat contoh ini: tangan kanan tipe S adalah tipe F. Tapi prinsip itu tidak belaku jika yang kita cari adalah mentor. Seorang mentor haruslah yang berwibawa atau disegani, dan karenanya haruslah yang menundukkan atau mengalahkan. Sebagai seorang murid, santri tentu tidak mau mentornya kalah pamor.
Jadi, kalau memakai prinsip mundur menentang arah jarum jam, maka jika seorang S mencari mentor haruslah I. Sedangkan tipe I mencari mentor yang tipe T. Begitu seterusnya (bayangkan bintang lima sudut)25.
4. Setoran hafalan menggunakan Metode STIFIn Setelah mendapatkan klasifikasi kelompok setoran, maka santri diwajibkan menyetor hafalan minimal 5 halaman perharinya sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
Berikut wawancara dengan Ustadzah Imro’atul Husna, selaku Pengurus Rumah Qur’an STIFIn Al-Mawaddah Paiton Probolinggo: “Dalam proses setoran hafalan Al-Qur’an santri Rumah Qur’an STIFIn alMawaddah Pondok Pesantren Nurul Jadid dilakukan secara bertahap. Setoran pertama dilakukan pada pukul 06.00-08.30 WIB yang dilanjutkan seotoan kedua pada pukul 09.00-11.00.
sedangkan pada pukul 13.00-14.00 dilakukan murojaah dan pukul 16.00-17.30 me-murojaahhafalam ½ juz yang telah disetorkan sebelumnya. Selanjutnya rangkaian kegiatan hafalan dengan metode STIFIn ini diikuti dengan Musabaqah Hifdzul Qur’an (MHQ) pada pukul 19.30–20.00 yang bertujuan untuk melatih kemampuan menghafal ayat secara acak..”26 Posisi potensi genetik yang sudah diketahui,
pada akhirnya dalam implementasi metode STIFIn memudahkan dan membantu dalam maksimalisasi keakraban dengan al-Qur’an. Dalam implementasinya, masing-masing potensi genetik ini mempun mempunyai cara tersendiri dalam proses menghafal al-Qur’an sebagaimana berikut:27
a. Metode menghafal al-Qur’an bagi tipe sensing Cara menghafal al-Qur’an bagi tipe sensing yaitu dengan menitikberatkan pada frekuensi pengulangan, mengingat warna, dan tanda. Proses menghafal al-Qur’an bagi tipe sensing adalah sebagai berikut:28
1) Santri memilih tiga warna. Dalam hal ini santri dibebaskan untuk memilih warna apasaja asalkan kontras satu sama lain.
Masingmasing tanda hendaknya menggunakan warna yang berbeda dan konsisten. Gunakan alat tulis untuk memberi tanda berupa warna, lingkaran, dan garis pada bagian ayat yang perlu perhatian khusus, seperti: menandai ra’sul ayat (awal ayat), menandai potongan ayat yang sama dan menandai kata yang sulit diingat, sering tertukar atau sering terlupa.
2) Langkah berikutnya, menandai ra’sul ayat pada setiap ayat di seluruh halaman yang akan dihafalkan pada hari itu. Tandai dengan menebalkan ra’sul ayat dengan bolpoin warna. Hal ini dilakukan di luar jam menghafal dan akan lebih baik jika dilakukan sebelum sholat subuh.
3) Bacalah 1 halaman al-Qur’an yang akan dihafal sebanyak satu kali dengan terjemahnya. Ini dilakukan untuk sekedar mengetahui makna dari ayat yang akan dihafal. Jika terjemahnya berupa ayatayat perintah, ancaman, atau hukum dapat dengan sekedar mengetahui secara umum saja dan tidak mengingat sambungan ayat dengan mengingat urutan ceritanya.
4) Menandai bagian ayat yang sama dengan bolpoin warna.
5) Membagi satu halaman menjadi dua bagian dan beri tanda batasan di antara keduanya dengan tanda lingkaran kecil berwarna hitam. Pembagian dilakukkan berdasarkan pada jumlah baris, akan tetapi juga disesuaikan dengan akhir ayat, sehingga tidak mutlak pembagiannya 8:7.
6) Selanjutnya santri memulai membaca bagian pertama sambil melihat mushaf sebanyak 20x dan berusaha mengingat ra’sul ayat.
7) Melafalkan tanpa melihat mushaf sebanyak 10 kali dan pada tahpan ini siswa masih diperbolehkan mengintip jika tidak yakin atas pelafalan ayat atau bahkan jika terlupakan.
8) Menandai kata yang sulit atau sering terlupa dengan bolpoin warna dan menggunakan bolpoin berbeda untuk masing-masing penanda.
9) Melafalkan tanpa melihat mushaf sebanyak 10 kali dan pada tahapan ini tidak lagi diperkenankan melihat jika tidak yakin atau lupa.
10) Melanjutkan hafalan pada bagian berikutnya sesuai dengan tahap atau langkah dari 6 (enam) hingga 9 (sembilan).
11) Menggabungkan kedua bagian hafalan tersebut dan melafalkan sebanyak 5 kali tanpa melihat mushaf.
12) Santri menghafalkan halaman kedua sesuai tahapan dari nomor 3 (tiga) hingga 11 (sebelas)
13) Mengulang hafalan kedua halaman tersebut sebanyak 3 kali tanpa melihat mushaf.
14) Langkah teraskhir adalah dengan melakukan setoran hafalan.
b. Metode menghafal al-Qur’an bagi tipe thinking Cara menghafal al-Qur’an bagi
thinking sebagaimana implementasi metode STIFIn dalam meningkatkan kualitas hafalan di Rumah Qur’an STIFIn Al-Mawaddah Paiton Probolinggo lebih menekankan pada target yang ketat dan disiplin pada waktu yang diberikan dan dilakukan dengan: 29
1) Membagi satu halaman menjadi 3 bagian atau lima baris.
2) Menggunakan alat tulis untuk menandai setiap awal ayat dan akhir ayat.
3) Menggunakan lembar catatan untuk mencatat awal kata ayat dan nomor ayat.
4) Menentukan target waktu untuk menghafal dan membagi waktu 1 jam atau 60 menit menjadi 6 waktu (1 waktu = 10 menit)
5) Membagi 10 (sepuluh) menit pertama menjadi 2 (dua) bagian. Lima menit pertama untuk membaca lafal ayat secara keseluruhan (1 halaman). Kemudian lima menit kedua digunakan untuk membaca terjemahan ayat pada halaman yang selanjutnya diikuti dengan upaya memahami inti dari ayat tersebut.
6) 10 menit kedua santri melakukan proses penghubungan lafal ayat dengan terjemahannya.
7) 10 menit ketiga, mulai menghafalkan lima baris pertama dengan cara mengulang-ulang per baris atau satu baris yang dibagi dua (bagi yang mengalami kesulitan dalam menghafal), sampai lima baris pertama selesai. Hal tersebut dilakukan secara terus-menerus pada lima baris ke dua dan ke tiga.
8) 10 menit keempat, santri menghafalkan lima baris kedua.
9) 10 menit kelima, digunakan untuk menghafal lima baris terakhir.
10) 10 menit terakhir digunakan untuk menggabungkan hafalan dari lima baris pertama hingga akhir
11) Selanjutnya santri menghafalkan halaman kedua dengan cara menghafal halaman pertama.
12)Jika santri tipe thinkingsudah mendapatkan 2 halaman, maka santri tersebut melafalkan 2 halaman tersebut tanpa melihat mushaf sampai lancar selama 30 menit kalau kurang boleh menambah waktu.
c. Metode menghafal al-Qur’an bagi tipe intuiting Cara menghafal al-Qur’an
bagi intuiting sebagaimana implementasi metode STIFIn dalam meningkatkan kualitas hafalan di Rumah Qur’an STIFIn Al-Mawaddah Paiton Probolinggo lebih menekankan pada daya ingat semantik dan imajinasi cerita dalam memahami terjemah dan dilakukan dengan:30
1) Santri dengan tipe ini memulai menghafal dengan membaca terjemahannya atau dibacakan pengertiannya terlebih dahulu kemudian memahami alur ceritanya.
2) Setelah memahami terjemah, santri Rumah Qur’an membaca ayat per ayat dan diulang-ulang sampai hafal. Untuk tipe ini intuiting tidak ada patokan waktu dan lebih mementingkan pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus sampai hafal dan lancar.
3) Saat proses menghafal, santri memberi tanda kata-kata yang dianggap sulit dan mirip dengan cara dibulatkan dengan pulpen, pensil, atau dengan stabilo.
4) Dalam proses menghafal al-Qur’an, santri dengan tipe ini tidak akan menghafal sebelum membaca terjemahannya karena dengan membaca terjemahannya intuiting mempunyai daya ingat semantik atau daya ingat berperistiwa.
5) Langlah berikutnya yang dilakukan tipe ini dalam menghafal alQur’an di Rumah Qur’an al-Mawaddah adalah dengan mengekspresikan ketika menghafal dengan mimik muka dan gerakan tangan.
Oleh karena itu, tipe ini seringkali walaupun jarang melakukan proses menghafal al-Qur’an di depan cermin agar dapat melihat ekspresi muka sendiri yang nantinya akan memudahkan dalam menghafal.
d. Metode menghafal al-Qur’an bagi tipe feeling Cara menghafal al-Qur’an
bagi tipe feeling sebagaimana implementasi metode STIFIn dalam meningkatkan kualitas hafalan di Rumah Qur’an STIFIn Al-Mawaddah Paiton Probolinggo lebih menekankan pada suasana menghafal yang kondusif (menggunakan kekuatan mendengarnya) dan partner sima’an dan dilakukan dengan:31
1) Sebelum menghafal, santri dengan tipe ini terlebih dahulu mendengarkan 10 (sepuluh) kali yang bertujuan untuk mendengarkan murottalayat per ayat dengan menggunakan headset sebanyak 10 (sepuluh) kali tanpa melihat mushaf.
Bagi santri yang tidak mempunyai alat bantu, maka guru membacakan ayat per ayat 10 (sepuluh ) kali dan santri mendengarkan dengan seksama, memperhatikan panjang-pendeknya serta cara penempatan waqaf dan cara ibtida’ (memulai bacaan setelah waqaf)
2) Santri membaca 10 (sepuluh ) kali (merekam secara visual). Setelah mendengarkan ayat yang akan dihafal, santri dengan tipe ini selanjutnya membaca ayat 10 (sepuluh ) kali dan menghayati makna untuk menghadirkan tokoh/pelaku dalam ayat tersebut sambil mengamati dengan cermat, sehingga memperoleh gambaran menyeluruh tentang lafal & makna.
Dalam proses tersebut, ditekankan untuk membaca dengan benar dan cermat, baik huruf, harakat, panjang-pendeknya, tempat waqaf (berhenti) dan tempat ibtida’ (memulai bacaan setelah waqaf) supaya yang masuk ke dalam memori pada fase awal adalah bacaan yang benar. Dalam proses ini, membaca dengan benar akan membantu penghafalan dan pemeliharaan al-Qur’an secara lebih mudah.
3) Membaca dan mendengarkan 10 (sepuluh ) kali (merekam secara audio dan praktek secara lisan). Dalam hal ini, santri dengan tipe feeling ini mendengarkan lagi ayat yang dihafalkan sambil mengikuti bacaan sebanyak 10 (sepuluh ) kali
4) Menghafal 10 (sepuluh ) kali yang dilakukan tanpa mendengarkan murattal dan tanpa melihat mushaf sebanyak 10 (sepuluh ) kali, dengan cara:
a) Menghafal ayat yang telah dihafal dan didengarkan dengan cara sedikit demi sedikit, kalimat per kalimat atau per waqaf, dan diulang-ulang sambil menghayati terjemahannya sebanyak 10 sampai tidak ada kesalahan dan terbayang letak baris dan posisinya.
Oleh karena itu, dalam menghafal dianjurkan memakai mushaf pojok dan 1 mushaf yang tetap dan tidak boleh mengganti-ganti mushafyang lain yang berbeda cetakan karena posisi kalimat pada ayat dalam suatu mushafyang berbeda antar satu cetakan dan yang lain cetakan.
b) Setelah kalimat-kalimat pada ayat tersebut dapat dihafalkan oleh santri tipe feeling dengan lancar, dantri tersebut kemudian menambah hafalan pada kalimat selanjutnya dengan cara yang sama dan kemudian merangkaikannya sehingga sempurna sampai satu ayat.
Selanjutnya langkah dan cara menghafal santri tipe feeling iniadalah merangkaikan kalimat pada ayat dengan diulang-ulang sampai benar-benar hafal tanpa ada kesalahan.
c) Setelah selesai menghafal satu ayat dengan lancar, santri tipe feeling baru kemudian boleh berpindah pada ayat selanjutnya dengan cara sebagaimana pada poin 1,2,3,4
d) Untuk merangkaikan hafalan urutan kalimat dan ayat dengan benar, maka santri dengan tipe feeling setiap kali selesai menghafal kalimat atau ayat berikutnya, mereka mengulang minimal sebanyak 10 (sepuluh) kali. Misalnya: ayat pertama dirangkaikan ke ayat ke dua dan diulang-ulang minimal sebanyak 10 (sepuluh) kali, lalu dirangkaikan pada ayat ke tiga 10 (sepuluh) kali dan begitu seterusnya.
Namun, ada juga santri yang pengulangannya dilakukan dengan urutan mundur, misalnya: ayat terakhir dirangkaikan dengan ayat ke dua terakhir, kemudian mengulang dimulai ayat kedua terakhir baru dirangkaikan dengan ayat di atasnya atau sebelumnya dan begitu seterusnya, hingga satu halaman diulang lagi minimal 10 (sepuluh) kali sampai tidak ada kesalahan baik dari sisi pelafalan maupun urutan ayat-ayatnya
e) Jika menemukan dalam proses menghafal ditemukan lafal-lafal yang sulit dihafal, karena serupa atau yang hampir serupa dengan lafal lain, maka santri dengan utipe feeling ini memperhatikan secara khusus, mencermati, dan menghayati maknanya, dan selalu mengulang-ulang.
Begitu pula dengan penutup atau ujung setiap ayat perlu yang mendapat perhatian secara cermat dan bahkan memberi tanda tertentu jika dianggap perlu.
f) Setelah menghafal satu halaman dengan baik dan lancar, maka santri dengan tipe feeling ni melanjutkan menghafal halaman berikutnya dengan memulainya dari poin 1,2,3 dan 4.
g) Dalam hal merangkai halaman, santri tipe feeling dalam implementasi metode STIFIn memperhatikan sambungan akhir halaman tersebut dengan awal halaman berikutnya, sehingga hafalan tersebut sambung-menyambung.
Dengan demikian, setiap selesai satu halaman santri tpe feeling melakukan pengulangan dengan merangkaikan pada halaman-halaman berikutnya
h) Begitu seterusnya dari kalimat per kalimat, ayat per ayat, halaman per halaman.
Dalam implementasi metode STIFIn bagi santri tipe feeling yang tidak boleh terputusdan harus dirangkaikan, dicermati maknanya, dan diulang-ulang terus minimal 10 (sepuluh) kali hingga terekam di memori otak.
5) Tasmi’ (hafalan disimak orang lain) sebanyak 5 (lima) kali Dalam implementasi metode STIFIn bagi tipe feeling, setelah proses menghafal hafalan minimal dua halaman, maka berikutnya dapat diperdengarkan hasil hafalan tersebut pada teman untuk mengetahui mengoreksi kelancarannya.
Setelah hafalan benar-benar baik dan lancar, santri dengan tipe feeling baru diperkenankan menghadap kepada guru untuk ditashih-kan (disimak dan dibetulkan) hafalannya serta mendapat petunjuk dan bimbingan seperlunya.
Langkah tasmi’ ini dalam prakteknya juga diikuti dengan tasmi’ materi hafalan yang pertama. Jadi, pada proses tasmi’ bukan hanya materi hafalan kedua saja yang ditashih, akan tetapi materi hafala yang pertama juga ditashih saat itu.
Setelah setor baru diawali dengan menyetor materi lama minimal 10 halaman dan maksimal 20 halaman, atau disetorkan pada program muraja’ah/takrir.
e. Metode menghafal al-Qur’an bagi tipe insting Cara menghafal al-Qur’an bagi tipe insting sebagaimana implementasi metode STIFIn dalam meningkatkan kualitas hafalan di Rumah Qur’an STIFIn Al-Mawaddah Paiton Probolinggo lebih menekankan pada lingkungan yang tenang dan penggunaan keserbabisaannya dalam menghafal.
Adapun cara menghafal bagi tipe ini dalam implementasi metode STIFIn adalah sebagai berikut
1) Santri dengan tipe insting dalam proses menghafal diperkenankan mencari tempat yang dianggap tenang, kondusif dan jauh dari keramaian.
Bagi santri penghafal al-Qur’an dengan tipe ini, tempat yang tenang dan jauh dari keramaian merupakan hal yang penting karena orang insting akan merasa nyaman ketika berada dalam ketenangan dan jauh dari konflik.
Kenyamanan akan memudahkan insting untuk meresap dan mengahafal segala informasi (dalam hal ini al-Qur’an). Mereka akan kesulitan dalam berkonsentrasi jika tempat dan suasana kurang kondusif.
Emosi mereka pun mudah meluap jika ada gangguan berupa kegaduhan dari sekitarnya sehingga dapat merusak mood mereka ketika menghafal.
2) Dalam implementasi metode STIFIn bagi tipe insting, menggunakan semua pintu keserbabisaan merupakan hal yang dianjurkan, yang dalam hal yaitu dengan menggunakan pendengaran, penglihatan, dan gerakan tubuh.
Demikian pula dengan mendengarkan nada murattal atau qira’at juga dianjurkan untuk membantu mempermudah dalam menghafal karena tipe instingini memiliki kecerdasan musical.
Berikut adalah pintu keserbabisaan yang dapat digunakan oleh tipe ini
a. Daya pikir: dilakukan dengan memfokuskan pikiran dengan membaca terjemahan dan memahami makna dari setiap ayat yang tengah dihafal.
b. Penglihatan: dilakukan dengan menghafal letak dan posisikata dalam setiap ayat.
c. Gerakan tubuh: dilakukan oleh tipe insting ini ketika tengah menerjemahkan ayat dengan menggunakan bantuan gerakan tubuh untuk mengekspresikanmakna yang terkandung dalam ayat.
3) Langkah berikutnya bagi tipe ini adalah dengan menghafal per ayat dari setiap halaman.
4) Berikutnya santri tipe insting menggunakan formula 20:
a. 20 (dua puluh) kali membaca dengan khusyu’ dan tawadhu’ satu halaman penuh.
b. 20 (dua puluh) kalimembaca per ayat dengan merekam (menghafal)
c. Melakukan penggabungan ayat setiap selesai menghafal ayat baru. Setiap selesai satu ayat lanjut ke ayat kedua.
Ayat pertama dan kedua digabung dan dibaca 10 (sepuluh) kali. setelah lancar, maka santri dengan tipe insting ini melanjutkan ke ayat ketiga yang kemudian digabung ayat pertama sampai ketiga dengan pengulangan 3 sampai 10 (sepuluh) kali dan seterusnya hingga sampai akhir halaman.
d. 10 (sepuluh) kali muraja’ah bil ghaib ( mengulang tanpa melihat mushaf) sampai benar-benar lancar dan baru dilanjutkan ke halaman berikutnya.
Untuk mengoptimalkan penggunaan metode tersebut, maka diadakan pembinaan dan pendalaman konsep STIFIn oleh Mudir Rumah Qur’an STIFIn pusat setiap 1 bulan 1 kali untuk merefresh pengetahuan terhadap konsep STIFIn.
Demikianlah Rumah Qur’an STIFIn Al-Mawaddah Paiton, Probolinggo dalam upayanya untuk dapat mengimplementasikan metode STIFIn dalam menghafal Al-Qur’an.
Paling tidak, santri dapat menghafal dengan baik dan nyaman. Para guru pembina mengharapkan dengan metode STIFIn tersebut santri dapat menyelesaikan hafalannya dengan cepat namun sulit untuk dilupakan.
E. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa implementasi metode STIFIn dalam meningkatkan kemampuan menghafal al-Qur’an di Rumah Qur’an STIFIn Al-Mawaddah Paiton Probolinggo dilakukan dengan; pertama, pemetaan potensi penghafal al-Qur’an dengan tes potensi genetik.
Tes genetik ini dilakukan dengan tes sidik jari atau DNA sehingga dapat dikatakan bahwa pemetaan potensi santri dilakukan berdasarkan teori hereditas.
Berdasarkan tes tersebut dapat diketahui potensi genetik siswa apakah mempunyai potensi genetik tipe thinking, intuiting, feeling, atau insting (STIFIn).
Berdasarkan potensi yang tentunya berbeda antar masing-masing tersebut, maka akan memudahkan melakukan “rekayasa” dalam pembelajaran termasuk dalam menghafal alQur’an; kedua, tes kemampuan menghafal dengan cara diberi pilihan 8 (delapan) jam atau 2 (dua) jam dengan target jumlah hafalan yang berbeda pada kedua pilihan; ketiga, proses klasifikasi yang berbasis pada teori STIFIn.
Dalam hal ini, santri diklasifikan sesuai dengan mitra kecerdasan antar pembina masingmasing santri.
Lima mesin kecerdasan membentuk sebuah mata rantai segi lima mengikuti jari-jari tangan kanan yang dimulai dari ibu jari hingga kelingking, bukan mengikuti urutan akronim STIFIn melainkan menggunakan urutan akronim STInIF (sesuai posisi jari tangan); dan keempat, dengan melakukan setoran hafalan yang berbasis pada konsep STIFIn.
Dalam konsep STIFIn, masing-masing santri penghafal al-Qur’an yang mempunyai potensi genetik yang berbeda, menghafal dan menyetorkan apa yang mereka hafalkan minimal 5 (lima) halaman per hari, yang kemudian diakhiri dengan kegiatan Musabaqah Hifdzul Qur’an (MHQ) untuk melatih kualitas hafalan yang dilakukan secara acak.
UNTUK memajukan sebuah lembaga pendidikan diawali dengan menciptakan kondisi yang nyaman kepada anak. Kondisi ini bisa tercipta dengan pola asuh yang tepat. Ketika pola asuh sudah berjalan sebagaimana mestinya, maka anak akan nyaman.
Itu akan berdampak anak mu – dah diarahkan menuju akhlak yang baik, yang otomatis kualitas belajarnyapun meningkat. Ada banyak metode untuk mengasuh anak, salah satunya adalah dengan metode STIFIn. STIFIn (Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling dan Insting) merupakan ilmu personalitas genetik (kepribadian genetik/bakat alami) yang ditemukan oleh Farid Poniman, kompilasi dari teori 3 ilmuwan yaitu Carl Gustav Jung, Ned Herman, dan Paul Mc Lean.
STIFIn membagi manusia menjadi 5 tipe. Tipe ini dipicu dari sistem operasi 5 belahan otak manusia yakni, Pertama, limbik kiri akan menghasilkan karakter terkait kerja fisik, suka sesuatu yang riil, dan bagus dalam menghapal. Tipe ini diberi nama Sensing. Kedua, neokorteks kiri akan menghasilkan karakter yang terkait dengan berpikir logis.
Tipe ini diberi nama Thinking. Ketiga, neokorteks kanan menghasilkan karakter yang kreatif, dan diberi nama Intuiting. Keempat, limbik kanan menghasilkan karakter yang perasa dan jiwa sosial yang bagus. Tipe ini disebut Feeling, dan kelima batang otak menghasilkan tipe yang serba bisa dan suka bekerja dengan spontan, disebut Insting.
Kelima karakter ini bisa diturunkan menjadi pola asuh anak. Pertama, sensing; anak tipe ini diasuh dengan kalimat menekan dan bersyarat. Untuk mencapai prestasi, anak ini sebaiknya dite – kan (ditarget), dan diberi hadiah setelah berhasil.
Kedua, thinking; anak ini akan bersemangat da – lam belajar ketika nasehat yang diberikan kepadanya menggunakan kalimat yang logis (masuk akal). Lalu intuiting; yang nyaman apabila nasehat yang diberikan kepadanya dengan menggunakan kalimat inspiratif yaitu yang mengandung hikmah dan bernuansa masa depan.
Keempat, feeling; akan terkondisi dengan baik apabila dinasehati dengan kalimat yang lemah lembut, sambil dielus pundaknya. Terakhir, insting; tipe ini suka dinasehati dengan kalimat pendek, spontan, dan disalurkan dalam berbagai kegiatan.
■ Perubahan Kualitatif Untuk menerapkan pola asuh di atas, maka guru harus diberi pelatihan tentang konsep dan pola asuh berbasis STIFIn. Lalu, secara bertahap mereka diminta mempraktekkan pola asuh berbasis STIFIn tersebut.
Untuk lebih memfokuskan peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar, perlu dipilih 2 anak yang paling bermasalah dan 2 anak yang paling bagus prestasinya (anak yang lain belum dikenai program ini). Targetnya anak yang paling bermasalah agar menjadi normal kondisinya, sedangkan yang paling bagus semakin meningkat prestasinya.
Guru harus mengevaluasi kondisi anak didik sebelum dan sesudah dilakukan pola asuh tersebut. Apabila ada yang belum terkondisi dengan baik, biasanya orang tuanya yang bermasalah. Untuk kasus seperti ini maka guru diminta home visit, untuk memberi – kan konseling kepada mereka.
Dan setelah program di atas menunjukkan perkembangan yang signifikan, baru program ini dikenakan ke semua anak. Pelaksanaan program di atas bisa dikatakan sebagai kiat yang efektif. Efektif dalam arti metode ini sudah terbukti cukup mudah dipelajari dan dipraktekkan serta dalam waktu singkat bisa mengendalikan anak dengan baik.
Selain itu juga efisien, artinya ketika guru sudah paham ilmu ini ( sampai tingkat praktek ), maka selamanya yang bersang – kutan bisa mendidik anak dengan baik. Dengan kata lain inves – tasi sekali untuk selamanya.
Salah satu lembaga pendidikan yang sudah menerapkan metode ini adalah Pondok Pesantren Lukmanul Hakim Kaliangkrik Magelang (tingkat SMP). Dan hasilnya, secara kualitatif setelah menggunakan metode ini, anak menjadi nyaman dan kualitas belajarnya meningkat, tidak ada lagi yang kabur dari pondok.
Orang tua pun puas dengan kondisi ini Secara kuantitatif; sampai tahun 2013 jumlah peserta didik hanya sekitar 100 anak. Setelah menerapkan metode ini, di tahun 2018 jumlah peserta didik menjadi 175 anak.
Kenaikan ini terkait dengan kualitas pola asuh yang bagus (berbasis STIFIn , yang ini berdampak anak menjadi nyaman sehingga akhlaknya membaik dan prestasinya me – ningkat. Dengan kondisi ini ma – ka banyak calon wali peserta di dik yang berebut memasukkan putranya di pondok pesantren.
Tahun 2013 sebelum menggunakan metode ini, target setoran hapalan Al Quran dalam 3 tahun hanya 10 juz. Tahun 2018 sudah bisa ditargetkan 30 juz dalam 3 tahun. Tahun 2016 telah mampu mendirikan pondok pesantran tahfidz tingkat SMA.
Di tahun 2016 pondok pesantren ini bisa membangun sarpras senilai 3 Miliar (tahun 2013 sama sekali belum mempunyai bangunan, untuk pelaksanaan KBM masih meminjam fasilitas kelurahan).
Dengan banyaknya empati dari masyarakat tersebut, maka pondok pesantren ini tidak membebankan semua biaya operasional kepada wali peserta didik.
Biaya SPP dan uang pangkal bisa dijangkau oleh masyarakat menegah ke bawah. Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memajukan sebuah lembaga pendidikan tidak harus menggunakan cara formal. Bisa dicoba menggunakan cara nonformal, sebagaimana penggunaan ilmu STIFIn di atas.■
Mengelola Sekolah dengan ‘Kurir Rantai Baja’
PRESTASI adalah hasil dari usaha, dan harapan. Dalam penyelenggaraan pendidikan sering menjadi tolok ukur kualitas sebuah satuan pendidikan.Sekolah berprestasi akan menjadi teladan dan inspirasi bagi sekolah lain.
Bagi wali murid suatu impian jika dapat menyekolahkan anaknya di sekolah yang berprestasi, dengan harapan kelak akan menjadi anak berprestasi juga . Pada zaman sekarang ini orangtua sudah melihat kualitas mutu, tidak lagi terpikir mahal dan jauh untuk memilih tempat menyekolahkan putra – putrinya .
Untuk menciptakan sebuah prestasi tak lepas dari kata proses , yang merupakan alur dari kondisi awal apa adanya berikutnya dikenakan treatment secara tepat dalam jangka waktu tertentu baru menghasilkan sesuatu yang baru dan sesuai diharapkan .
Kepala sekolah dengan tugas manajerialnya harus bisa mengelola delapan standar pendidikan secara tepat, terutama standar pendidik dan tenaga kependidikan.Di dalamya terdiri atas kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan dalam satu lingkungan sekolah tersebut.
Mereka sebagai kekuatan dalam rangka membentuk karakter, hasil belajar dan prestasi . Selanjutnya kepala sekolah membuat program pembinaan prestasi baik akademik maupun non akademik, tentang waktu, pelaksanaan event, target, materi dan individu yang akan mengampu sesuai kompetensi masing-masing.
Termasuk imbas pada penyusunan rencana anggaran yang tentu akan muncul sebagai konsekuensi dalam pelaksanaan program yang telah direncanakan dengan tertib dan seksama . Sekolah yang memiliki siswa dalam jumlah banyak akan lebih mudah untuk menjaring mereka menjadi kelompok dalam jumlah kecil sesuai kemampuan minat dan bakat yang ada.
Mengapa kadang sekolah besar tidak dapat mencetak peserta didik yang dapat berprestasi? Dalam kesempatan ini penulis akan bagi strategi selain keterangan saya di atas yaitu dengan strategi ‘’Kurir Rantai Baja‘’. Ada tiga kata kunci yaitu Kurir-Rantai-Baja .
Ini adalah sebuah perumpamaan saja dalam siklus pembelajaran di jenjang sekolah dasar yang terdiri dari kelas satu hingga kelas enam . Setiap siswa akan menempuh tingkatan tahap demi tahap sesuai kemampuannya. Kegiatan terbagi menjadi awal tahun, tengah semester, akhir semester dan akhir tahun.
Kurir yang dimaksud adalah guru kelas / wali kelas yang bertugas mendidik mengajar di kelas, bertanggung jawab untuk menjaring peserta didik sesuai prestasi hasil belajarnya di kelasnya secara objektif, transparan, kontinyu dan akuntabel.
Selanjutnya melaporkan dengan data valid berjenjang kepada guru kelas di atasnya begitu seterusnya . ■ Bersinergi Sedangkan Rantai digambarkan sebagai suatu yang bersifat melingkar bergerak tidak ada putusnya dan berfungsi menggerakkan sebuah benda agar dapat bergerak maju dan melingkar.
Rantai terdiri atas sambungan-sambungan yang sangat erat dan jarang sekali terputus. Artinya wali kelas dan pembimbing bersinergi untuk terus menerus saling bekerja sama untuk sebuah tujuan termasuk juga dengan pembimbing / pembina prestasi sesuai bidang tugasnya, sehingga peserta didik telah terdeteksi secara dini tentang potensi yang ada dan diraih dengan bukti-bukti kongkret melalui hasil pembelajaran sehari-hari.
Pengartian Baja digambarkan sebagai salah satu jenis logam yang paling kuat dan tak pernah akan putus sedahsyat apapun goncangan dan tarikannya .
Ini merupakan kiasan dari fungsi guru pembimbing prestasi yang penuh dedikasi dengan potensi lebih dengan kapasitasnya sesuai bidang tugasnya tiada kenal waktu dan tiada kenal lelah secara proporsional etos kerja tidak akan pernah kena godaan, melirik pulang gasik ataupun melaku kan hal yang tidak manfaat.
Tim pembimbing bina prestasi siap sedia secara kontinyu tanpa harus diperintah sudah mengerti apa yang harus dilaksanakannya. Dedikasi dan kredibilitas sangat dipertaruhkan.
Seandainya tiga kata perumpamaan tersebut disatukan dalam bentuk kinerja maka sangat mungkin keberhasilan prestasi akan diraih.■
Saatnya Mengacuhkan Bahasa Indonesia
PERSOALAN salah kaprah dalam bahasa Indonesia dari dulu sampai sekarang belum juga terselesaikan. Makna kata yang seharusnya benar menurut kaidah justru tidak pernah dipakai. Sebaliknya katakata yang salah dan melanggar kaidah justru selalu digunakan.
Sebagian orang menggunakan pilihan kata berdasarkan pemahamannya sendiri. Mereka tidak pernah mencocokkan kata-kata yang digunakan dengan makna kata di dalam kamus. Salah satu alasan yang klasik adalah malas membuka kamus.
Mereka memaknai kata berdasarkan penafsirannya sendiri-sendiri sehingga munculah kesalahan bahasa yang disebut salah kaprah . Salah kaprah di sini diartikan sebagai ‘salah satu kesalahan yang sudah umum dan sudah terbiasa.
Karena sudah terbiasa Pengguna bahasa tidak lagi menganggap hal itu salah. Parahnya kesalahan itu tidak terjadi sekali dua kali, melainkan berkali-kali sehingga lama-lama orang menganggap Salah kaprah ini terbentuk tidak hanya pada kata-kata asli bahasa Indonesia tetapi terbentuk pula pada kata-kata serapan yang berasal dari bahasa asing.
Kata-kata yang maknanya salah tetapi sering digunakan pemakai bahasa antara lain kata tegar, acuh, geming, nuansa, garang, seronok.
Sedangkan yang dari kata serapan antara lain absen, galon, samurai, busway, kolaborasi. Kata ‘tegar’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna keras kepala, kepala batu dan ngeyel. Namun sekarang kata ini dimaknai tabah; kuat; sabar. Padahal jelas makna kedua ini bertolak belakang dengan yang pertama.
Dan tragisnya dalam keseharian makna yang dipahami masyarakat adalah makna yang kedua, yaitu tabah; kuat; sabar. Begitu juga kata acuh. Kata ini merupakan kata yang paling sering disalahartikan.
Bagi sebagian penutur, kata ‘acuh’ ini mempunyai makna cuek dan tidak perhatian. Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘acuh’ itu berarti peduli; hirau; ingat; indah.
Geming bermakna ‘ diam; tidak bergerak’ Namun dalam keseharian kata ini digabungkan dengan kata tidak sehingga menjadi frasa ‘tidak bergeming’ yang di maknai tidak bergerak sehingga maknanya tidak sesuai dengan makna dalam kamus.
■ Dimaknai Sama Sekilas kata ‘garang’ dan ‘gahar’ memiliki makna yang berdekatan, yakni berhubungan dengan karakter yang seram dan galak. Ternyata dalam KBBI, “garang” bermakna ‘pemarah lagi bengis; galak; ganas’ sedangkan gahar bermakna ‘gosok kuat-kuat’, dan “menggahar” bermakna ‘menggosok kuat-kuat supaya bersih’.
Nah, ini kan sangat berbeda jauh. Kata ‘nuansa’ dan ‘suasana’ juga dimaknai sama. Padahal nuansa artinya adalah variasi atau perbedaan yang sangat halus atau kecil sekali (tentang warna, suara, kualitas, dan sebagainya) sedangkan suasana artinya keadaan sekitar sesuatu atau dalam lingkungan sesuatu.
Namun kita masih sering mendengar kedua kata ini dimaknai sama. Sedangkan salah kaprah yang berasal dari kata-kata serapan yang sering digunakan pemakai bahasa antara lain kata absen, galon, takjil, samurai.
Kata absen dipungut dari bahasa Belanda (absent), yang mempunyai makna tidak hadir atau tidak masuk. Namun dalam keseharian kata absen ini jusru diartikan kehadiran. Istilah Galon yang ternyata artinya ternyata bukan benda, tapi ukuran.
Penulis berharap dengan artikel ini dapat mengajak pembaca untuk mencermati kembali makna bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mari kita acuhkan bahasa Indonesia, kalau bukan kita siapa lagi?■
Functional magnetic resonance imaging (fMRI) studies typically collapse data from many subjects, but brain functional organization varies between individuals.
Here we establish that this individual variability is both robust and reliable, using data from the Human Connectome Project to demonstrate that functional connectivity profiles act as a ‘fingerprint’ that can accurately identify subjects from a large group.
Identification was successful across scan sessions and even between task and rest conditions, indicating that an individual’s connectivity profile is intrinsic, and can be used to distinguish that individual regardless of how the brain is engaged during imaging.
Characteristic connectivity patterns were distributed throughout the brain, but the frontoparietal network emerged as most distinctive. Furthermore, we show that connectivity profiles predict levels of fluid intelligence: the same networks that were most discriminating of individuals were also most predictive of cognitive behavior.
Results indicate the potential to draw inferences about single subjects on the basis of functional connectivity fMRI.
All individuals are unique. Nevertheless, human neuroimaging studies have traditionally collapsed data from many subjects to draw inferences about general patterns of brain activity that are common across people.
Studies that contrast two populations—such as patients and healthy controls—typically ignore the considerable heterogeneity within each group. Despite the predominance of such population-level inferences, researchers have long recognized that even among the neurologically healthy, brain structure1–3 and function4–6 show high individual variability.
In terms of function, variability is found in activation patterns during cognitive tasks4–6 as well as intrinsic organization as measured by functional connectivity analyses of data acquired while subjects are resting7.
Recently, the Human Connectome Project (HCP) set out to map the connections in the human brain by acquiring high-quality structural and functional MRI scans from a large number of healthy subjects8. Many of the early analyses of HCP data have focused on elucidating the general blueprint for brain connectivity that is shared across people.
Yet despite the gross similarities, there is reason to believe that a substantial portion of the brain connectome is unique to each individual9. An open question is whether this uniqueness is sufficiently observable by fMRI to enable a transition from population-level studies to investigations of single subjects.
Here we show that functional connectivity profiles act as an identifying fingerprint, establishing that individual variability in connectivity is both substantial and reproducible.
Using HCP data from 126 subjects, each scanned during six separate sessions over 2 d, we demonstrate that a functional connectivity profile obtained from one session can be used to uniquely identify a given individual from the set of profiles obtained from the second session.
We show that identification is successful between rest sessions, task sessions and even across rest and task. These results indicate that although changes in brain state may modulate connectivity patterns to some degree, an individual’s underlying intrinsic functional architecture is reliable enough across sessions and distinct enough from that of other individuals to identify him or her from the group regardless of how the brain is engaged during imaging.
Furthermore, we establish the relevance of these connectivity profiles to behavior by demonstrating, in a fully cross-validated analysis, that functional connectivity profiles can be used to predict the fundamental cognitive trait of fluid intelligence in subjects.
These results provide a critical foundation for future work to novel test inferences about single subjects to reveal how individual functional brain organization relates to distinct behavioral phenotypes
RESULTS
Data for this study consisted of scans from 126 subjects provided in the Q2 data release of the HCP8. Each subject was scanned over a period of 2 d.
We used data from six separate imaging conditions: two rest sessions (one on each day, here referred to as Rest1 and Rest2) and four task sessions (working memory, emotion, motor and language; two on each day).
Functional connectivity was assessed using a functional brain atlas10 consisting of 268 nodes covering the whole brain; this atlas was defined on the basis of a separate population of healthy subjects (Online Methods, Yale data set).
The Pearson correlation coefficients between the time courses of each possible pair of nodes were calculated and used to construct 268 × 268 symmetrical connectivity matrices, where each element represents a connection strength, or edge,
Figure 1
Identification analysis procedure and network definitions.
(a) Database and target design. Data for each subject was collected in six fMRI sessions: a resting-state session (R1), a working-memory task (WM) and a motor task (Mt) on day 1 and a restingstate session (R2), a language task (Lg) and an emotion task (Em) on day 2. For identification, we used a set of connectivity matrices from one session for the database and connectivity matrices from a second session acquired on a different day as the target set. All possible combinations of database and target sessions are indicated by the arrows connecting session pairs.
(b) Identification procedure. Given a query connectivity matrix from the target set, we computed the correlations between this matrix and all the connectivity matrices in the database. The predicted identity ID* is the one with the highest correlation coefficient (argmax). Subj, subject.
(c) Node and network definitions. We used a 268-node functional atlas defined on an independent data set of healthy control subjects using a group-wise spectral clustering algorithm10. Nodes were further grouped into networks (1–10) using the same clustering algorithm, and networks were named according to their correspondence to other existing resting-state network definitions
between two nodes. This was done for each subject for each condition separately, such that each subject had a total of six matrices reflecting connectivity patterns during each of the different scan sessions.
Identification was performed across pairs of scans consisting of one ‘target’ and one ‘database’ session, with the requirement that the target and database sessions be taken from different days: for example, Rest1 matrices were used as the target and compared to a database of Rest2 matrices (Fig. 1a).
In an iterative process, one individual’s connectivity matrix was selected from the target set and compared against each of the connectivity matrices in the database to find the matrix that was maximally similar (Fig. 1b).
Similarity was defined as the Pearson correlation coefficient between vectors of edge values taken from the target matrix and each of the database matrices.
Once an identity had been predicted, the true identity of the target matrix was decoded and that iteration was assigned a score of 1, if the predicted identity matched the true identity, or 0, if it did not.
Within a target-database pair, each individual target connectivity matrix was tested against the database in an independent trial. We tested identification across all possible pairs of scan sessions (Fig. 1a; nine pairs, each with two possible configurations created by exchanging the roles of target and database session).
In each case, the success rate was measured as the percentage of subjects whose identity was correctly predicted out of the total number of subjects. Connectivity-based identification of individual subjects Whole-brain identification.
As a first pass, identification was performed using the whole-brain connectivity matrix (268 nodes; 35,778 edges), with no a priori network definitions. The success rate was 117/126 (92.9%) and 119/126 (94.4%) based on a targetdatabase of Rest1-Rest2 and the reverse Rest2-Rest1, respectively.
The success rate ranged from 68/126 (54.0%) to 110/126 (87.3%) with other database and target pairs, including rest-to-task and taskto-task comparisons.
Given that the 126 identification trials were not independent from one another, we performed nonparametric permutation testing to assess the statistical significance of these results (Online Methods).
Across 1,000 iterations, the highest success rate achieved was 6/126, or roughly 5%. Thus the P value associated with obtaining at least 68 correct identifications (the minimum rate we achieved) is 0.
Network-based identification. We next tested identification accuracy on the basis of each of eight specific functional networks to test the hypothesis that certain brain networks contribute more to individual subject discriminability than others.
These networks were derived from the same set of healthy subjects used to define the 268-node atlas (Fig. 1c). Two networks emerged as the most successful in individual subject identification: the medial frontal network (network 1) and the frontoparietal network (network 2), both comprised of higher-order association cortices in the frontal, parietal and temporal lobes.
We also tested a combination of these networks to determine whether this combination would afford even higher predictive power than each network on its own.
Thus, we determined identification rates based on each network separately, the combination of networks 1 and 2 (referred to for convenience as the frontoparietal networks) as well as the whole brain for each of the nine database and target pairs (Fig. 2a,b). Frontoparietal-based identification accuracy was extremely high between Rest1 and Rest2 (98–99%).
Accuracy dropped slightly when identification was performed between rest and task or two task conditions, but remained high (80–90% for most condition pairs).
The combination of these two frontoparietal networks significantly outperformed either network alone and the whole brain across all 18 database-to-target pairs (one-tailed paired t-test versus network 1, t17 = 10.4, P < 10−9; versus network 2, t17 = 1.97, P = 0.03; versus whole brain, t17 = 5.1, P < 10−5).
Figure 2
Identification accuracy across session pairs and networks.
(a) Identification accuracy based on all nine database and target pairs, where each row shares the same database session and each column shares the same target session. Bar shading (black or gray) indicates which session was used as the database (with the other session serving as the target), according to the legend above each graph. Graphs show accuracy based on each individual network as well as a combination of networks 1 and 2 (the frontoparietal networks) and the whole brain (all).
(b) Identification (ID) results from the combined frontoparietal networks (top) are highlighted in color-coded matrices (bottom) to compare accuracy across rest-rest, rest-task and task-task session pairs. R1, Rest1; WM, working-memory task; Mt, motor task; R2, Rest2; Lg, language task; Em, emotion task.
Factors affecting identification accuracy
We next explored several factors affecting identification accuracy, including quantifying contributions of individual edges to subject discriminability, varying the length of the time courses used to calculate connectivity matrices, expanding the database set to two matrices, comparing different node and network schemes and ruling out potential confounds (motion and anatomic differences).
Quantifying edgewise contributions to identification.
To quantify the extent to which different edges contribute to subject identification, we derived two measures: the differential power (DP) and the group consistency (Φ).
DP reflects each edge’s ability to distinguish an individual subject by quantifying how ‘characteristic’ that edge tends to be, such that edges with a high DP tend to have similar values within an individual across conditions, but different values across individuals regardless of condition.
Φ quantifies the consistency of a connection within a subject and across the group (Online Methods). Restricting analysis to Rest1 and Rest2, we calculated DP and Φ for all edges in the brain and determined which edges were in the 99.5 percentile on each of these two measures (Fig. 3a).
We found that majority of edges in the 99.5 percentile of DP are in the frontal, temporal and parietal lobes and involve nodes in the frontoparietal networks (networks 1 and 2) or default mode (network 3). This result was stable across percentile thresholds (Supplementary Table 1).
This data-driven mathematical definition of characteristic edges recapitulates the results of our network-based analysis, showing that in general, connections involving higher-order association cortices are the most discriminating of subjects. Approximately 28% of the edges with high DP were within and between networks 1 and 2.
Another 48% were edges linking these two networks to other networks (Fig. 3a), suggesting that levels of interaction between the frontoparietal networks and the rest of the brain are also highly discriminating.
Conversely, the majority of high-Φ edges connected crosshemisphere homologs in the occipital and parietal lobes (Fig. 3a). Many of these edges were within the motor network (network 5) or the primary visual network (network 6; Fig. 3a).
These edges are highly consistent both within and across subjects, and thus do not contribute substantially to individual subject identification
Identification using shorter time courses.
Scan sessions differed in duration, meaning that the amount of data used to compute the connectivity profiles varied between sessions. Sessions Rest1 and Rest2 contained two runs of 1,200 brain volumes (time points) each, and were substantially longer than the working memory scan (two runs of 405 time points), the language scan (316), the motor scan (284) and the emotion scan (176).
To investigate the effect of the number of time points on identification power, we performed frontoparietal-based identification between the two rest sessions while varying the number of time points used to calculate connectivity matrices between 100 and 1,100.
We observed that longer time courses better preserved individual characteristics in connectivity profiles (Fig. 3b) and that temporal variability in the connectivity profiles degraded identification based on shorter time courses, especially those with fewer than ~500 time points.
Identification based on two-matrix database.
We found, as expected, that individual identification is more challenging when performed across connectivity matrices obtained from different task conditions or from task and rest conditions (even after taking into account the fact that task runs contain fewer time points) (Fig. 2).
It is well known that connectivity patterns can be modulated by different imaging conditions11–13, and such modulation contributes to intra-subject variation, making identification more difficult. In an effort to capture the intra-subject variation, we performed identification using an expanded database that included two connectivity matrices per
Figure 3
Factors affecting identification accuracy.
(a) Highly unique (DP, top, red) and highly consistent (Φ, bottom, blue) edges in individual connectivity profiles. For visualization, both sets of edges were thresholded at the 99.5 percentile.
In the circle plots (left), the 268 nodes (inner circle) are organized into a lobe scheme (outer circle) roughly reflecting brain anatomy from anterior (top of circle) to posterior (bottom of circle), and split into left and right hemispheres; lines indicate edges.
In the colored matrices (right), the same data are plotted as percentage of edges within and between each pair of networks; a darkly shaded cell indicates a relative overrepresentation of that network pair in the DP (top) or Φ (bottom) masks.
PFC, prefrontal cortex; mot, motor; ins, insula; par, parietal; tem, temporal; occ, occipital; lim, limbic (including cingulate cortex, amygdala and hippocampus); cer, cerebellum; sub, subcortical (including thalamus and striatum); bsm, brainstem; L, left hemisphere; R, right hemisphere.
(b) Longer time series improve identification accuracy. To control for the fact that task sessions contained fewer time points than rest sessions, we recalculated rest connectivity matrices using truncated time series containing between 100 and 1,100 time points.
Results shown are from 500 randomizations using Rest1 and Rest2 as the database and target sessions, respectively. Boxplots represent median (stripe), 25th and 75th percentiles (box) and range (whiskers). (c) Use of a two-matrix database improves identification rate relative to a single matrix (task or rest).
Dots and error bars represent mean and range of identification rate across all possible database and target pairs, where the target matrix was always from a task session and the database consisted of a rest-task pair (n = 8 combinations), task only (n = 8) or rest only (n = 4). *P < 0.01, Mann-Whitney U test.
subject (one rest session and one task session from the same day, with the target matrix from a task session on the other day; networks 1 and 2 were used for this analysis).
In all cases, accuracy was improved using the two-matrix database over a database of either the rest or task session alone (rank sum = 68, two-sided P = 0.004 versus rest alone; rank sum = 100, two-sided P = 0.0002 versus task alone, MannWhitney U test).
The average success rate increased to 97.2%, with a maximum rate of 100% (average rates were 82.1% with a task-only database and 86.9% with a rest-only database) (Fig. 3c). This suggests that the within-subject variability is well captured by a linear model that includes a baseline (connectivity at rest) and a deviation introduced by an independent task (connectivity during task).
Effects of parcellation scheme.
To investigate the sensitivity of identification to the specific choice of parcellation atlas and network definitions, we repeated the identification experiments using connectivity matrices calculated from the 68-node FreeSurfer atlas14 and grouped into seven networks using the scheme described in Yeo et al.
15 (below referred to as the FreeSurfer-Yeo scheme), where networks 3, 4 and 6 represent the frontoparietal networks. Between the two rest sessions, the identification rate based on this atlas was ~89% when the whole brain was used and ~75% when the frontoparietal networks were used (Fig. 4a).
The reduction in identification accuracy compared to our 268-node functional parcellation and corresponding network definitions, especially in the case of frontoparietal-based identification, suggests that a relatively high-resolution parcellation contributes to the detection of individual variability and boosts identification rate.
To further investigate the difference in identification accuracy, we calculated correlations between connectivity matrices of all 126 subjects from Rest1 and Rest2 on the basis of our atlas and network scheme and the FreeSurfer-Yeo scheme.
In a comparison of the raw cross-subject correlation coefficients for the frontoparietal networks (Fig. 4b), we found that with the FreeSurfer-Yeo scheme, the raw coefficients were larger for both matched (diagonal) subjects (t250 = −4.3, P < 10−5) and unmatched (off-diagonal) subjects (t31,750 = −18.0, P < 10−72) (Fig. 4b), which does not explain the difference in identification accuracy.
To control for equal global distribution of correlation coefficients, we normalized both matrices (Fig. 4c). After normalization, there was no difference between schemes in off-diagonal elements (t31,750 = 0.27, P = 0.79); however, using our parcellation and network scheme, the diagonal elements were significantly larger than with the FreeSurfer-Yeo scheme (t250 = 14.6, P < 10−35), underpinning the increase in identification rate (Fig. 4c).
Effects of head motion.
As head motion is a known confound of connectivity analyses16, we tested whether subjects could be identified on the basis of the distribution of their frame-to-frame motion during functional scans (Online Methods).
Identification based on each subject’s motion distribution had an average success rate of 2.4%, well below the identification accuracy achieved using connectivity profiles. Thus it is unlikely that identification power is based on idiosyncratic patterns related to motion in the scanner
Effects of anatomical differences.
The HCP provides functional data that have been normalized to a common space. However, small errors are inherent to the normalization process, and such errors result in part from individual differences in anatomy, which are constant in time.
Thus, the influence of individual brain anatomy is hard to eliminate completely from the functional data, as these errors could bias the individual identification to select the same subject on two different days.
Nonetheless, any such influence from anatomy should remain largely static and should not be modulated by task conditions. To confirm that identification power came from true differences in functional connectivity rather than anatomic idiosyncrasies, we recalculated connectivity matrices using different smoothing kernels (4 mm, 6 mm and 8 mm) for the blood oxygen level–dependent (BOLD) data.
With larger smoothing kernels, the registration advantages for the same brain compared to different brains should be vastly reduced or eliminated. Yet we saw only a slight drop in identification power: with Rest1 and Rest2 pairs, identification using the frontoparietal
Figure 4
Effect of node and network scheme on identification accuracy.
(a) Identification accuracy with the node atlas and network definitions described in Shen et al.10 (Shen) versus the FreeSurfer-Yeo scheme14,15 (FS + Yeo).
(b) Raw 126 × 126 cross-subject correlations of frontoparietal connectivity patterns from Rest1 and Rest2 (top). Row and column subject order is symmetric; thus, diagonal elements are correlation scores from matched subjects. Mean correlation coefficients for both diagonal (matched) and off-diagonal (unmatched) elements are also shown (bottom, error bars represent ±s.d.). The overall correlation coefficients are higher using the FreeSurfer-Yeo scheme, for both diagonal elements (n = 126) and off-diagonal elements (n = 15,876). **P < 10−5, two-tailed t-test.
(c) Cross-subject correlation matrices after z-score normalization (top). The global difference in correlation values is eliminated as there is no significant (n.s.) difference in the off-diagonal z scores. However, correlations between diagonal elements are significantly higher using the Shen scheme than the FreeSurfer-Yeo scheme (bottom; error bars represent ±s.
(d.), which helps account for the increase in identification accuracy using the Shen scheme. **P < 10−5, two-tailed t-test. networks remained above 96% for all three smoothing levels
(Supplementary Table 2).
We also investigated whether individuals could be identified by BOLD signal variance in each node (Online Methods). Although it is likely that BOLD variance reflects metabolic function to a substantial degree, it could also be influenced by anatomic factors, such as differences among subjects in number of gray-matter voxels per node.
This identification was successful, ranging 48–87% across different combinations of database and target sessions, but in all cases it was less successful than connectivity-based identification
(Fig. 2b and Supplementary Table 3).
Crucially, if BOLD variance were driven mostly by anatomic properties, it should be fairly constant regardless of how the brain is engaged during imaging, and thus the accuracy of variance-based identification should not differ according to brain state.
That there was considerable variability with brain state further suggests that functional rather than anatomic features are responsible for the high degree of identification accuracy observed.
Connectivity profiles predict cognitive behavior
To determine whether individual differences in functional connectivity are relevant to individual differences in behavior, we tested whether connectivity profiles could be used to predict subjects’ level of fluid intelligence.
Fluid intelligence (gF) is the capacity for on-the-spot reasoning to discern patterns and solve problems independently of acquired knowledge17. Levels of gF vary widely in the population18 and correlate with many other cognitive abilities and life outcomes19–22; investigating the biological basis of gF is of interest, as it is thought to reflect intrinsic cognitive ability.
In the HCP protocol, gF was assessed using a form of Raven’s progressive matrices with 24 items23 (scores are integers indicating number of correct items). We used leave-one-subject-out cross-validation to demonstrate that gF can be predicted based solely on the connectivity profile of a previously unseen individual.
In this iterative process, data from one subject is set aside as the test set, and data from the remaining n − 1 subjects is used as the training set. Each iteration consisted of three steps:
(i) feature selection, in which edges with a significant relationship to gF are identified in the training set and separated into two tails according to sign (positive or negative);
(ii) model building, in which training data are used to fit two simple linear regressions between gF and a summary statistic of connectivity strength in the positive- and negative-feature network, respectively, and
(iii) prediction, in which data from the excluded subject are input into each model to generate a predicted gF score (Online Methods). Following all iterations, we assessed the predictive power of each model by correlating predicted and observed gF scores across all subjects. Data from the Rest1 session were used here.
Similarly to the identification analysis, as a first pass, we tested whether whole-brain connectivity could predict gF in novel subjects. On the basis of a feature-selection threshold of P < 0.01, the correlation between predicted and observed gF scores was r = 0.50 (P < 10−9) for the positive-feature model (Fig. 5a) and r = 0.26 (P = 0.005) for the negative-feature model.
Although both models generated significant predictions, the positive-feature model was more accurate than the negative-feature model (z = 2.15, two-tailed P = 0.03). Prediction was significant across all three feature-selection thresholds tested: all r > 0.29, P ≤ 0.001 for the positive tail; all r > 0.22, P ≤ 0.01 for the negative tail. (The predicted range was narrower than the observed range in Fig.
5a; thus the model was most successful at generating predictions of gF level relative to other subjects.) Owing to the nature of our cross-validated approach, a slightly different set of edges was selected in each iteration.
To explore which networks contributed the most predictive power, for each of the eight networks we calculated the average number of within-network edges selected across all iterations and normalized by the total number of within-network edges (to control for differences in overall network sizes).
Networks 1 and 2 contributed the highest fraction of edges to the positive model, and network 3 contributed the highest fraction of edges to the negative model; this was consistent across statistical thresholds for feature selection (Fig. 5b).
Thus, edges that show a consistent positive correlation with gF are disproportionately located in the frontoparietal networks, and edges that show a consistent negative correlation with gF are mostly in the default-mode network.
As a second-pass analysis, we tested directly whether predictive power varied across the different networks; specifically, whether the networks that performed best for identification (the frontoparietal networks) also performed best for predicting cognitive behavior.
To do this, we repeated the leave-one-subject-out cross-validated procedure described above, this time restricting the feature selection step to features (within-network edges) from each of the eight networks in turn.
We also tested a combination of networks 1 and 2. Thus, nine sets of predicted gF scores were generated. Each of these was correlated with observed gF scores to assess the predictive power of each network or network combination (Fig. 5c,d).
(a) Results from a leave-one-subject-out cross-validation (LOOCV) analysis comparing predicted and observed fluid intelligence (gF) scores (n = 118 subjects).
Scatter plot shows predictions based on the whole brain in the positive-feature network at a feature-selection threshold of P < 0.01. Each dot represents one subject; gray area represents 95% confidence interval for best-fit line, used to assess predictive power of the model.
(b) Mean fraction of within-network edges selected in the whole-brain positive-feature (left, red) and negative-feature (right, blue) models, shown at a range of statistical thresholds for feature selection. y axis indicates mean fraction of edges selected across all LOOCV iterations; x axis indicates network (labeled as in Fig. 1c).
(c) Results from a LOOCV analysis in which feature selection was restricted to within-network edges in the frontoparietal networks (1 and 2), at a feature-selection threshold of P < 0.01. Each dot represents one subject; gray area represents 95% confidence interval for best-fit line.
(d) Results from nine LOOCV analyses in which feature selection was restricted to within-network edges in each of the eight networks plus a combination of networks 1 and 2. y axis indicates correlation between predicted and observed gF scores; x axis indicates network label. *P < 0.05, uncorrected. Results based on a range of feature-selection thresholds (P values) are shown to demonstrate consistency across thresholds. For some networks, no features passed the statistical thresholding step and thus it was not possible to generate predictions; this is reflected by missing bars.
As hypothesized, predictive power based on the positive features was highest for the frontoparietal networks (at a feature-selection threshold of P < 0.01, r = 0.42, P < 10−6 and r = 0.39, P < 10−5 for networks 1 and 2, respectively; r = 0.50, P < 10−9 for the two networks combined; this pattern was consistent across different statistical thresholds used for feature selection).
The subcortical-cerebellar network (network 4) also had significant predictive power at a featureselection threshold of P < 0.01 (r = 0.22, P = 0.01) but this result was less consistent across feature-selection thresholds. Predictive power based on the negative features was significant only for the default mode (network 3; r = 0.35, P < 10−5 at P < 0.01); this result was consistent across feature-selection thresholds.
These results reinforce the functional relevance of our identification analyses, in that the networks most discriminating of individuals are also the most relevant to individual differences in behavior. Crucially, the relationship between connectivity and cognitive ability is sufficiently robust to generalize to previously unseen subjects.
DISCUSSION
Here we show that an individual’s functional brain connectivity profile is both unique and reliable, similarly to a fingerprint. We demonstrate that it is possible, with near-perfect accuracy in many cases, to identify an individual from a large group of subjects solely on the basis of his or her connectivity matrix.
Although inter-individual consistency in functional brain networks has been well characterized across task and rest conditions24,25 and even states of consciousness26, the intra-individual reliability observed here suggests that the general blueprint may be shared, but functional organization within individual subjects is idiosyncratic and relatively robust to changes in brain state, and provides meaningful information beyond the common template27.
We also demonstrate that this individual variability is relevant to individual differences in behavior, in that connectivity profiles can be used to predict the fundamental cognitive trait of fluid intelligence in novel subjects.
These results underscore the potential to discover fMRI-based connectivity ‘neuromarkers’ of present or future behavior that may eventually be used to personalize educational and clinical practices and improve outcomes28–30.
Anatomic loci of distinguishing connectivity features
Although identification based on the whole-brain connectivity matrix was highly successful, performance was best using a combination of the two frontoparietal networks. These networks are comprised of higher-order association cortices rather than primary sensory regions; the cortical regions are also the most evolutionarily recent31 and show the highest inter-subject variance7,32,33.
That the frontoparietal networks were most distinguishing of individuals—and the most predictive of behavior—is consistent with their function in cognition. Nodes in these networks tend to act as flexible hubs, switching connectivity patterns according to task demands34.
Additionally, broadly distributed across-network connectivity has been reported in these regions35, suggesting a role in large-scale coordination
a r t ic l e s
of brain activity. Although the frontoparietal network is particularly active in tasks requiring a high degree of cognitive control, here we show that it can identify individuals regardless of whether the data are collected during a task or at rest.
Training cross-subject classifiers based on frontoparietal connectivity to predict which task a subject is performing yields classification accuracy that is statistically significant but still low34; the present findings of high inter-individual variability may help explain these results.
In light of this, future work might use within-subject classification to explore how the frontoparietal networks reorganize according to task demands in individual subjects. Similarly, the frontoparietal networks emerged as most predictive of gF, a finding that is consistent with previous reports that structural and functional properties of these networks relate to intelligence36–38.
Aberrant functional connectivity in the frontoparietal networks has been linked to a variety of neuropsychiatric illnesses39,40; the work presented here, although focused on healthy subjects, suggests that sensitivity may be compromised in studies of disease if inferences are drawn only at the group level.
New insights into neuropsychiatric illnesses may be gained from an approach that links individual functional connectivity profiles to a spectrum of behavioral and symptom measures rather than a single diagnosis41,42.
Additional considerations
The discriminating power of connectivity profiles here is a result of integration over a relatively long period of time (that is, runs that last several minutes). There is a growing body of literature43 showing that in the resting state, functional connectivity is dynamic and varies considerably over short periods of time (that is, intervals shorter than 1 min).
Future work may seek to characterize individuals on the basis of properties of these dynamic fluctuations; however, our results indicate that single measures of time-averaged functional connectivity based on relatively long scan sessions provide meaningful information about individuals.
We note also that our cross-session identification was done between sessions separated by a single day; it remains unclear to what degree individual connectivity profiles are consistent across the lifespan.
Cross-sectional studies have shown changes in functional connectivity with age44–46, but future work should employ longitudinal designs to test the stability or evolution of the functional connectivity fingerprint over months or years rather than days.
From a methodological perspective, the scale of the node atlas seems to influence identification accuracy. The parcellation used in our primary analysis consisted of 268 nodes across the whole brain, with each node optimized to contain voxels with similar resting-state time courses10.
This number is consistent with the range postulated by other groups47,48 but represents a more fine-grained scheme than other atlases, such as the automatic anatomic labeling atlas (90 nodes)49 or the FreeSurfer atlas (68 nodes).
In a comparison of identification rates, network definitions based on our high-resolution parcellation outperformed networks based on the FreeSurfer atlas; it is likely that the coarser node size of the latter diminishes accuracy by averaging out individual variability
Conclusion
Together, these findings suggest that analysis of individual fMRI data is possible and indeed desirable. Given this foundation, human neuroimaging studies have an opportunity to move beyond population-level inferences, in which general networks are derived from the whole sample, to inferences about single subjects, examining how individuals’ networks are functionally organized in unique ways and relating this functional organization to behavioral phenotypes in both health and disease.
Methods
Methods and any associated references are available in the online version of the paper.
Acknowledgments
Data were provided in part by the Human Connectome Project, WU-Minn Consortium (principal investigators, D. Van Essen and K. Ugurbil; 1U54MH091657) funded by the 16 US National Institutes of Health (NIH) institutes and centers that support the NIH Blueprint for Neuroscience Research; and by the McDonnell Center for Systems Neuroscience at Washington University. This work was also supported by NIH grant EB009666 (R.T.C.), T32 DA022975 (D.S.) and the US National Science Foundation Graduate Research Fellowship Program (E.S.F. and M.D.R.)
AUTHOR CONTRIBUTIONS
E.S.F., X.S., D.S., X.P. and R.T.C. conceptualized the study. X.S. designed and performed the identification analyses with support from E.S.F. and D.S. E.S.F. designed and performed the behavioral analyses with support from M.D.R. and J.H. X.S. and X.P. contributed unpublished data analysis tools and visualization software. X.P., M.M.C. and R.T.C. provided support and guidance with data interpretation. E.S.F. wrote the manuscript, with contributions from X.S. and comments from all other authors.
COMPETING FINANCIAL INTERESTS
The authors declare no competing financial interests.
ONLINE METHODS
Subject information. The primary data set used in this work is from the Human Connectome Project (HCP). A second data set (the Yale data set), was used for node and network definitions. These two data sets are described below. HCP data. We used the Q2 HCP data release, which was all the HCP data publicly available at the time that this project began.
The full Q2 release contains data on 142 healthy subjects; we restricted our analysis to subjects for whom all six fMRI sessions were available (n = 126; 40 males, age 22–35). This represents a relatively large sample size compared to most neuroimaging studies and has the advantage of being an open-source data set, facilitating replication and extension of this work by other researchers. Most subjects have at least one blood relative in the group, many of them twins.
A more heterogeneous population should make the identification problem easier, and therefore the high accuracy rate observed here, despite the homogeneity of the sample, underscores the power of functional connectivity–based identification. The resting-state runs (HCP filenames: rfMRI_REST1 and rfMRI_REST2) were acquired in separate sessions on two different days.
Task runs included the following: working memory (tfMRI_WM), motor (tfMRI_MOTOR), language (tfMRI_LANGUAGE, including both a story-listening and arithmetic task) and emotion (tfMRI_EMOTION). The working memory task and motor task were acquired on the first day, and the language and emotion tasks were acquired on the second day. In total, there were six conditions: day 1 rest, day 2 rest, working memory, motor, language and emotion. The HCP scanning protocol was approved by the local Institutional Review Board at Washington University in St.
Louis. For all sessions, data from both the left-right (LR) and right-left (RL) phase-encoding runs were used to calculate connectivity matrices. Full details on the HCP data set have been published previously8. Yale data. This data set consisted of 45 healthy subjects scanned on a Siemens 3T Tim Trio at Yale University (28 males; age = 31 ± 7.3 (s.d.), range 19–50).
Restingstate fMRI data were acquired using a multiband gradient echo EPI sequence with similar parameters to the HCP acquisition (FOV = 210 mm, matrix size 84 × 84, TR = 0.956 ms, TE = 30 ms, resolution = 2.5 mm3). Eight 5.6-min runs were acquired, totaling 45 min of data. Additionally, an MPRAGE image (TR = 2,530 ms, TE = 2.77 ms, TI = 1,100 ms, flip angle = 7 degrees, resolution = 1 mm3) and a two-dimensional anatomical T1 image (TR = 285 ms, TE = 2.61 ms, resolution = 2.5 mm3) were acquired for registration purposes.
All participants provided written informed consent in accordance with a protocol approved by the Human Research Protection Program of Yale University. Preprocessing. The HCP minimal preprocessing pipeline was used50 for the HCP data set. This pipeline includes artifact removal, motion correction and registration to standard space.
For the Yale data set, images were motion corrected using SPM8 and were warped to common space using a series of linear and nonlinear transformations as previously described10.
ures were applied to the fMRI data and included removal of linear components related to the six motion parameters (Yale data) or 12 motion parameters (HCP data; these include first derivatives, given as Movement_Regressors_dt.txt), regression of the mean time courses of the white matter and CSF as well as the global signal, removal of the linear trend, and low-pass filtering.
For the HCP data set, we investigated a range of spatial smoothing Gaussian kernel sizes— from no smoothing to a full-width half-maximum (FWHM) of 4 mm, 6 mm or 8 mm—and found that smoothing level had essentially no effect on identification accuracy (Supplementary Table 2); thus, results based on data with no spatial smoothing are presented in the main text.
(Our node-based analysis, in contrast to a voxel-wise analysis, contains a considerable degree of inherent smoothing because the time courses of many contiguous voxels are averaged into a single node.) Image preprocessing and calculation of connectivity matrices was done using BioImage Suite51.
Pearson correlation coefficients between pairs of node time courses were calculated and normalized to z scores using the Fisher transformation, resulting in a 268 × 268 symmetric connectivity matrix for each session for each subject. Connectivity matrices were not thresholded or binarized in any way.
Functional parcellation and network definition. Using the 45 subjects in the Yale data set, we constructed a 268-node functional atlas using a group-wise spectral clustering algorithm10. The two hemispheres were segmented separately into a target number of 150 regions. The final parcellation was examined to ensure each node contained a reasonable number of voxels.
Note that this single wholebrain parcellation atlas was defined in MNI space and was applied to all subjects in the HCP data set via traditional registration techniques. The parcellation image is publicly available on the BioImage Suite NITRC page (https://www.nitrc.org/ frs/?group_id=51).
In addition to parcellating the brain into 268 functionally coherent nodes, we further clustered these nodes into large-scale networks. To define the networks, the same group-wise spectral clustering algorithm was applied to connectivity matrices from the 45 Yale subjects to group the 268 nodes into eight networks10.
The eight networks were evaluated and compared visually to existing definitions of resting-state networks published by other groups15,25. Despite the fact that we included subcortical regions and cerebellum whereas other definitions excluded these regions, our network configuration matched well with these other network definitions.
Our eight clusters represent approximately the following networks: (i) medial frontal, (ii) frontoparietal, (iii) default mode, (iv) subcortical-cerebellum, (v) motor, (vi) visual I, (vii) visual II and (viii) visual association (Fig. 1c).
ure. First, a database was created that consisted of all the individual subjects’ connectivity matrices from a single condition, D = = [ , , , ] X i i 1 126 … , where Xi is a 268 × 268 correlation matrix and the subscript i denotes subject.
In the identification step, the identity of the target matrix was predicted using a correlation matrix obtained from a different session. To predict the subject identity, the similarity between the current target matrix Yi and all other matrices in D was computed, and the predicted identity was that with the maximal similarity score.
Similarity was defined as the Pearson correlation between two vectors of edge values taken from the target matrix and each of the database matrices. Note that we performed prediction with replacement, such that the algorithm was not forced to predict a unique subject on each iteration within a condition.
To assess the statistical significance of identification accuracy, we performed nonparametric permutation testing. In each iteration, we first randomly selected one condition from day 1 to serve as the database set and a second condition from day 2 to serve as the target set.
Next, subject identity was permuted—such that each subject in the target set was assigned a ‘correct’ identity corresponding to a different subject in the database set—and identification performed. Then the roles of database and target sets were reversed. This procedure was repeated 1,000 times.
To investigate the contributions of individual networks (as described above) to identification accuracy, a sub-matrix was used corresponding to a single network or combination of networks. If we denote the set of nodes belonging to network j as V k K j jk = = j [ , , , ] u 1 … , where Kj is the total number of nodes in network j, the sub-matrix of network j is X(Vj , Vj ), thus only connections within the selected network(s) are included.
based analyses were performed to determine whether specific edges contribute more to individual identification than other edges. When performing subject identification, the Pearson correlation coefficients were computed between the target connectivity pattern and all connectivity patterns in the database, and the subject identity was chosen to be the one that had the largest correlation coefficient.
Computationally, the Pearson correlation of two vectors is the sum of element-wise products, given that the two vectors are z-score normalized (0 mean with unit s.d.). Therefore, this score can be broken down to quantify the individual amount contributed from each entry in the vector, where some edges contribute positively to the total coefficient and others contribute negatively.
Given two sets of connectivity matrices [ ],[ ] X X i R i 1 2R obtained from Rest1 and Rest2 runs after z-score normalization, we computed the corresponding edge-wise product vector (ϕi), ji i R i R ( ) ( ) e X e X e e M * = ( ), , , = 1 2 1 … where i indexes subject, e indexes edge and M is the total number of edges in the selected network (or the whole brain). The sum of ϕi over all edges Σe i j ( )e is the correlation between [ ] Xi R1 and [ ] Xi R2 .
All rights reserved. doi:10.1038/nn.4135 nature NEUROSCIENCE In the same way, we can calculate ϕi between patterns from different subjects, for example jij i R j R ( ) ( ) e X e X e i j * = ( ), ≠ 1 2 It is possible that an edge e is equally correlated within the same subject and between different subjects. In other words, ϕij(e) (when subject subscript is not matched) and ϕii(e) (when subject subscript is matched) are of similar value.
Therefore, such an edge will not contribute to distinguishing an individual from the other subjects. For an edge to be truly helpful in individual identification, the following property must hold, j j j j ii ij ii ji ( ) ( ), ( ) ( ), e e e e i j > and > ≠ In this way, the particular edge contributes to maximize the correlation between connectivity patterns from matched subjects.
To quantify the differential power of an edge for the purpose of subject identification, we computed an empirical probability P e P e e e e e e e i ji ii ij ii ji ii ij ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ( ) ( ) ( ) = > > = > + > j j j j j j j or jii( ) )/ ( ),2 1 126 e N N − = We defined Pi(e) in this way so that it can be interpreted similarly as the P value in a standard statistical test. The smaller the Pi(e) value the better differential power the edge has to identify a single subject i.
The overall differential power of an edge across all subjects is then defined by the differential power measure (DP), DP e P e i i ( ) { ln( ( ))} = − ∑ The results of these edgewise analyses are visualized in Figure 3a. Identification using shorter time courses.
Scan sessions differed in duration: rest sessions were substantially longer than task sessions, and thus the discrepancy in amount of data could at least partially account for the differences in identification accuracy between rest-rest, rest-task and task-task pairs.
To explore this possibility, we tested frontoparietal-based identification between the two rest sessions while varying the number of time points used to calculate connectivity matrices between 100 and 1,100 in increments of 100.
For each number of time points n, identification accuracy was tested for each of 500 randomizations; these randomizations were generated by choosing among 50 starting points for each of the two rest runs and using n brain volumes beginning with that starting point to calculate matrices.
Results based on a database and target of Rest1 and Rest2, respectively, are shown in Figure 3b; results based on reversing the database and target were extremely similar. Identification based on two-matrix database. We also tested a database design option in which two matrices were included for each subject.
The current design of the database and target set makes identification challenging because the two sets of data were not only acquired on separate days, but also under different conditions (except for the Rest1 and Rest2 pair) with the brain engaged in a different cognitive task.
Inputting additional information about the difference between task and rest could potentially improve identification performance. Therefore, we created a database that included a connectivity matrix obtained from a resting-state session and another matrix obtained from a task session acquired on the same day: D = [( , ), , , ] X X i i = R i T 1 126 … . For identification, we always required that the target matrix be obtained on a different day.
To predict the subject identity, we projected the current target matrix Yi to the subspace spanned by the pair [ , ] X X i R i T , to obtain a projection Y i , and then computed the similarity between Y i and Yi to find the best match (Fig. 3c). Effects of parcellation scheme.
To investigate the effect of brain parcellation and network assignment on identification accuracy, we also computed correlation matrices based on the 68-node FreeSurfer atlas included as part of the HCP data. We used Yeo et al.’s previously published seven-network definition15 which included the following networks: (i) visual, (ii) motor, (iii) pre-motor/parietal (dorsal attention), (iv) ventral attention, (v) ventromedial prefrontal, (vi) frontal-parietal control and (vii) default mode.
These networks do not include subcortical structures or cerebellum. Network labels were assigned to each node in the FreeSurfer atlas as follows. Given a node, we counted the number of voxels belonging to each network. The network with the largest number of voxels was designated the primary network label for the given node.
Because the 68-node parcellation is created independently from the seven networks, their boundaries do not align in a one-to-one manner. Therefore, we also allowed a secondary network association for a node when the number of voxels in this network ranked second and the proportion to the total number of voxels in the node exceeded 30%.
All 68 nodes have at least one primary network association. When defining a sub-matrix that represents a single network, we included nodes for which the target network was either the primary or secondary label. Comparisons of identification accuracy between the Shen and FreeSurfer and Yeo schemes are shown in Figure 4. Effects of head motion.
In order to rule out the possibility that successful identification was driven simply by characteristic movement patterns leading to predictable motion artifacts, we performed prediction using motion estimates only.
HCP data collection provides an estimate of frame-to-frame displacement for each run (Movement_RelativeRMS.txt). These data were used to generate a discrete motion distribution vector from each of the six relative RMS vectors (from the six conditions, using data from the left-right phase encoding run).
we computed the mean and s.d. of the relative RMS across all conditions and subjects. We then specified 60 bins that spanned the grand mean ± 3 s.d., and the motion distribution vectors were calculated accordingly.
The motion distribution vectors were then used in the same way as the correlation matrices for individual identity prediction purposes.
Effects of anatomic differences. Although connectivity calculations are based on functional BOLD data, subtle effects of anatomic variability could potentially confer a preference between the same subject on different days when it comes to applying the 268-node parcellation, defined in standard space, to each individual subject.
To help rule out confounds of anatomy introduced at the registration step, we recalculated connectivity matrices based on BOLD data smoothed with three different kernel sizes (4 mm, 6 mm and 8 mm, keeping all other preprocessing steps the same), and performed the identification analysis again; at higher levels of smoothing, any registration advantage for the same brain relative to a different brain should be eliminated or vastly reduced.
The resulting identification accuracies are presented in
Supplementary Table 2.
We also performed a second analysis to help rule out the possibility that identification was driven mainly by anatomic rather than functional differences between subjects. Rather than connectivity between pairs of nodes, we tested whether individuals could be identified on the basis of a measure of BOLD variance in each node (calculation described below).
In principle, although BOLD variance probably reflects baseline metabolic function to a substantial degree, it could also be influenced by anatomic factors such as partial volume effects introduced by the gray- and white-matter segmentation and/or differing numbers of gray-matter voxels per node owing to underlying variation in regional tissue volumes and gyral folding patterns
This analysis helps to address these potential confounds. BOLD variance was calculated and identification performed as follows: 1. Within each node, we computed the mean BOLD signal in each frame. This yields an N × 268 matrix of node-wise mean BOLD intensities for each subject for each condition, where N is the number of frames (1,200 for the resting-state runs and fewer for the task runs).
(This is identical to the first step in calculating connectivity matrices. Note that the mean across the time dimension is zero because of the drift removal and band-pass steps.) 2. For each node, using its N × 1 time course vector, we compute its variance as follows: variance sum mean time course = ( )/ 2 N This results in a single 1 × 268 vector of node-wise BOLD variances for each brain state for each subject.
The results of this analysis are presented in Supplementary Table 3. Behavioral prediction. In the HCP protocol, fluid intelligence (gF) was assessed using a form of Raven’s progressive matrices with 24 items23 (scores are integers indicating number of correct items; mean = 16.8, s.d. = 4.7, median = 18, mode = 20, range 5–24; HCP: PMAT24_A_CR). In light of evidence that head motion is a substantial confound in functional connectivity analyses, we first checked for any correlation between head motion and gF score.
In the full sample of n = 126, this correlation was trending toward significance (r = −0.15, P = 0.09). Upon further examination, we found that this relationship was driven by a small number of individuals with both high head motion and low gF score.
Thus, for purposes of the behavioral analysis, we excluded subjects with particularly high motion during the Rest1 run; specifically, eight subjects with >0.14 frame-to-frame head motion estimate (averaged across both day 1 rest runs; HCP: Movement_RelativeRMS_mean) were excluded.
There was no correlation between head motion and gF in the remaining set of n = 118 subjects (r = −0.05, P = 0.55). Leave-one-subject-out cross-validation was used for the prediction analysis. In this iterative analysis, features are selected and a predictive model is built based on n − 1 subjects (the training set) and the model is then tested on the remaining subject (the test set).
Each subject is left out once. Each iteration consisted of
(i) feature selection, (ii) model building, and (iii) prediction, described in turn below.
In the feature-selection step, Pearson correlation was performed between each edge in the connectivity matrices and gF score across subjects in the training set.
(Note that it is not necessary to correct for multiple comparisons in this step because the nature of a predictive analysis includes a built-in guard against false positives: if the proportion of false positives in the feature-selection step is high, the model should not generalize well to independent data.)
On the basis of the signs of the resulting correlation values, edges were separated into two tails: those positively correlated with gF and those inversely correlated with gF. Edges were then thresholded on the basis of the statistical significance of their correlation with gF, resulting in two sets of features (positive and negative).
Because the choice of statistical threshold at this step is somewhat arbitrary, a range of thresholds was tested (P < 0.01, 0.05, 0.10) to ensure that results were consistent. In the model-building step, we first defined a single-subject summary statistic, ‘network strength’, by summing values of all edges in each feature set in individual connectivity matrices.
In graph-theoretic terms, this statistic can be thought of as a type of weighted degree for each feature network52.
This summary statistic can be represented as follows: [ ] ( ) , Positive feature network strength s ij ij i j = c m + ∑ [ ] ( ) , Negative feature network strength s ij ij i j = c m − ∑ Where c is an individual s’s connectivity matrix, and m(+) and m(−) are binary matrices indexing the edges (i,j) that are significantly positively or negatively correlated with gF, respectively.
After obtaining network strength for each subject in the training set, simple linear regression was used to model the relationship between network strength (the explanatory variable) and gF (the dependent variable).
Two models were built: one based on strength in the positive-feature network and one based on strength in the negative-feature network.
Each model—positive and negative—consisted of a first-degree polynomial that fit the training data best in a least-squares sense: [Predicted gF score a Network strength b ] * ( ) pos pos = + [Predicted gF score a Network strength b ] * ( ) neg neg = + Finally, in the prediction step, positive and negative network strengths from the excluded subject were calculated and input into each of the two respective models to generate predicted gF scores for that subject.
These three steps were repeated iteratively such that each subject was excluded once. Finally, we assessed predictive power of both models by correlating observed versus predicted gF scores across all subjects (Fig. 5). Code availability.
The 268-node functional parcellation is available online on the BioImage Suite NITRC page (https://www.nitrc.org/frs/?group_id=51). Matlab scripts were written to perform the analyses described; this code is available from the authors upon request. A Supplementary Methods Checklist is available.
Penelitian
ini bertujuan membuktikan kebenaran hipotesa STIFIn tentang “Ciri-ciri fisik
dan dominasi organ tubuh tertentu” pada kelima Mesin Kecerdasan yang terbagi
dalam 9 Personaliti Genetik.
Aplikasi
konsep STIFIn sudah berkembang sangat pesat. Sudah diterapkan di berbagai
bidang terutama bidang psikologi, sumber daya manusia, pendidikan,
pembelajaran, organisasi dan manajemen, hubungan antara manusian.
Melihat
sedemikian besar manfaat dan aplikasi STIFIn dalam kehidupan kita maka kami
mencoba mengembangkan aplikasi STIFIn di bidang kesehatan dan kedokteran.
Semoga
penelitian ini dapat menjadi pintu masuk aplikasi STIFIn di dalam bidang kesehatan
terutama di bidang kedokteran.
Besar
harapan kami konsep STIFIn ini dapat dioptimalkan untuk program preventif,
promotif, kuratif, rehabilitatif dan paliatif di bidang kesehatan.
Semoga
Allah SWT memudahkan penelitian ini dan menuntun kita dalam mengembangkan dan
mengaplikasikan STIFIn di bidang kesehatan dan kedokteran.
BAB II. HIPOTESA STIFIn TENTANG TIPOLOGI DAN ORGAN TUBUH
Berikut
ini hipotesa STIFIn tentang tipologi dan organ tubuh berdasarkan Mesin
Kecerdasan :
Sensing : organ tubuh utama bagian dalam
adalah lambung. Memiliki bentuk tubuh atletis.
Thinking : organ tubuh utama bagian dalam adalah ginjal.
Bentuk tubuh piknis.
Intuiting : organ
tubuh utama bagian dalam adalah hati. Bentuk tubuh astenis.
Feeling : organ tubuh
utama bagian dalam adalah paru-paru. Bentuk tubuh displastis.
Insting : organ tubuh
utama bagian dalam adalah jantung. Bentuk tubuh stenis.
MK
Struktur
Tubuh
Wajah
Bentuk
Organ
dominan
Sensing (S)
Organ
wajah penuh pada ruang muka sempit (simetris)
Hasil
spirometri FEV1 tertinggi (Si),
Ukuran
wajah terpanjang menurut garis vertical (S dan Se),
Angka
Trombosit tertinggi (S dan Se)
Sistim
Pencernaan
Thinking (T)
Organ wajah kecil-kecil, muka kotak
Piknis
(mesin
tubuh kecil, tulang kuat)
memiliki
tubuh paling tinggi (Te)
lingkaran dada terbesar (T dan Te)lingkar perut terbesar (T dan Te)lingkar pinggang terbesar (Te)Memiliki ukuran bagian
antero-posterior hepar terbesar (berdasarkan USG abdomen) (Te)Salah satu MK dan PG yang memiliki ukuran ginjal terbesar
(T, Ti dan Te)
Sistim
Sekresi
Intuiting
(I)
Organ
wajah panjang dan tipis-tipis, muka lonjong
Astenis
(tinggi-kurus
seperti pipa)
Ukuran bahu paling tebal (Ii)Tulang belakang terpanjang (Ie)Tulang leher terpanjang (I dan Ie)Lingkar kepala terbesar (I dan Ie)
Lingkar
pinggang terbesar (Ie)
Sistim
Sintesa dan Sistim saraf
Feeling (F)
Organ
wajah besar-besar pada ruang muka luas
(misal:
hidung jambu)
Displastis
(tinggi-besar/kecil-pendek
seperti buah apel)
Ukuran lubang hidung (Fe)Ukuran rongga dada kanan (Fi) dan
rongga dada kiri (F)Panjang bahu (Fe)Tebal bahu (F)
Extremitas
bawah terpanjang (Fe)
Tinggi badan (F)
Angka
lekosit tertinggi (Fe)
Kadar
Eritrosit tertinggi (Fi)
Angka
hematokrit tertinggi (Fe)
Memiliki
ukuran Hepar lobus kanan dan kiri terbesar (F)
Ginjal
superoinferior kanan terbesar (F dan Fe)
Sistim
Pernafasan
Insting (In)
Organ
wajah tajam-tajam/runcing
(misal:
bagian dagu dan bibir bagian bawah lebih menjorok ke depan)
Stenis
(lebar
di bagian bawah seperti buah pir, bahu datar)
Ukuran
telinga terpanjang (MK dan PG)
Ukuran
lubang hidung (MK dan PG)
Berat
badan terbesar (MK)
Eritrosit
tertinggi (MK)
Kadar Hb
tertinggi (MK dan PG)
FEV1/FVC
tertinggi (MK dan PG)
Salah satu MK yang memiliki ukuran lobus
kanan hepar terbesar
Sistim Peredaran Darah
BAB III. METODE PENELITIAN
Penelitian
ini dilakukan dengan metode deskriptif analitik. Masing-masing subyek
penelitian dideskripsikan berdasarkan ciri-ciri fisik dan dominasi organ tubuh
tertentu sesuai dengan hipotesa STIFIn.
Kesesuaian
ciri-ciri fisik dan dominasi organ tubuh tertentu pada masing-masing MK atau PG
menjadi dasar acuan untuk mendekripsikan ciri-ciri fisik MK atau PG tertentu.
BAB IV. TAHAPAN PENELITIAN
Tahapan Penelitian.
Penelitian ini dilakukan dalam 7
tahap sebagai berikut :
Tahap pertama :
menentukan subyek penelitian. Subyek penelitian adalah siswa-siswai SMPN 1
Balikpapan kelas IX (usia 13-14 tahun). Peneliti membuat kriteria subyek
penelitian adalah individu yang berusia 13 sd 14 tahun dengan asumsi subyek
perempuan sudah menstruasi dan subyek laki-laki sudah aqil baligh sebagai
parameter bahwa organ-organ tubuh subyek penelitian sudah tumbuh dengan sempurna.
Siswa-siswi
yang dipilih adalah berasal dari 3 kelas unggulan (IX-11, IX-10, IX-9) dan 3
kelas reguler (IX-8, IX-7, IX-6).
Alasan
memilih 3 kelas unggulan karena peneliti berpendapat bahwa populasi penduduk
Indonesia kebanyakan adalah F maka supaya lebih mudah mencari populasi T, S dan
I dengan prosentase yang seimbang subyek penelitian dicari pada kelompok kelas
unggulan dengan asumsi di kelas unggulan ini mayoritas T, S dan I serta disusul
F dan In.
Kemudian
peneliti menambahkan 3 kelas reguler dengan harapan bisa melengkapi jumlah
peserta sesuai kriteria subyek penelitian serta menambah jumlah F dan In.
Tahap kedua : mencari
subyek penelitian yang terbagi dalam 5 MK dan 9 PG dengan target 90 orang
subyek penelitian dengan harapan mendapatkan 10 orang mewakili masing-masing PG
atau minimal 15-20 orang mewakili masing-masing MK.
Tahap ketiga :
dilakukan pengukuran fisik dan pemeriksaan medis kepada subyek penelitian di
Prodia cabang Balikpapan.
Pengukuran fisik yang
dilakukan meliputi :
Tinggi badan
Berat badan
Lingkar kepala
Lingkar dada
Lingkar perut
Lingkar pinggang
Ukuran lubang hidung
Ukuran panjang
telinga
Panjang wajah
Lebar wajah
Panjang bahu
Tebal bahu
Panjang
tulang leher
Panjang tulang
belakang
Panjang tungkai dari
ujung tulang pinggul sampai dengan mata kaki.
Pemeriksaan medis
yang dilakukan :
Pemeriksaan
hematologi rutin.
Pemeriksaan ini untuk mengukur
kadar Hb, jumlah eritrosit, lekosit,trombosit,hematokrit.
Pemeriksaan rontgen
dada.
Untuk mengukur ukuran rongga
dada, kondisi anatomi paru-paru, ukuran jantung, kondisi anatomi jantung.
Pemeriksaan USG
perut.
Untuk mengukur hepar, ginjal.
Pemeriksaan
spirometri.
Untuk mengukur kapasitas fungsi
paru-paru.
Tahap keempat :
melakukan rekapitulasi hasil pengukuran dan mengelompokkan sesuai dengan MK dan
PG masing-masing.
Tahap kelima :
melakukan analisa hasil pengukuran.
Tahap keenam :
membuat laporan penelitian dan kesimpulan hasil penelitian.
Tahap ketujuh :
presentasi hasil penelitian.
BAB V. SUBYEK PENELITIAN
Subyek
penelitian ini adalah siswa-siswi SMPN 1 Balikpapan kelas IX tahun ajaran
2015-2016. Jumlah subyek penelitian 96 orang yang terbagi dalam 5 MK dan 9 PG.
BAB VI. PELAKSANAAN PENELITIAN
VI. 1. Waktu penelitian.
Penelitian
dilakukan dari tanggal 26 Agustus 2015 s/d 4 Desember 2015 di Laboratorium
Klinik Prodia Balikpapan.
VI. 2. Susunan team peneliti :
Penasehat : Bapak
Farid Poniman.
Ketua
: dr. Hendra Agusswarman Siahaan
Wakil
ketua : Didot Firmanto
Sekretaris : Siti
Lestari
Pengolahan
Data : H.
K. Wardani, SSi.
Bagian
Umum : Kusuma
Djaja Iskandar, M. Raihan D. Siahaan, Agendi
VI. 3. Pelaksanaan penelitian :
a. Tahap pertama tanggal 28 Agustus 2015.
Dilakukan pemilihan
secara acak kepada siswa-siswi kelas unggulan SMPN 1 Balikpapan (kelas IX 11,
IX 10, IX 9) dengan jumlah 70 orang siswa-siswi.
Dilakukan tes STIFIn
kepada siswa SMPN 1 Balikpapan yang berasal dari kelas unggulan tersebut.
Diperoleh 49 orang
peserta yang berhak mengikuti tes tahap berikutnya yaitu pengukuran fisik dan
pemeriksaan medis tgl 28 Agustus 2015 dan 12 orang peserta pd tgl 29 Agustus
2015.
Total peserta 61
orang dari kelas unggulan.
b. Tahap kedua tanggal 3 September 2015.
Dilakukan pemilihan
secara acak kepada siswa-siswi kelas reguler SMPN 1 Balikpapan (kelas IX-8,
IX-7, IX-6) dengan jumlah 70 orang siswa-siswi.
Dilakukan tes STIFIn
kepada sejumlah siswa SMPN 1 Balikpapan yang berasal dari kelas regular
tersebut.
Diperoleh 35 orang
peserta yang berhak mengikuti tes tahap berikutnya yaitu pengukuran fisik dan
pemeriksaan medis.
c. Pelaksanaan pengukuran fisik dan pemeriksaan medis di Laboratorium Klinik Prodia Balikpapan.
d. Rekapitulasi hasil pemeriksaan.
e. Pengolahan data.
f. Pembuatan laporan penelitian.
g. Kesimpulan dan presentasi hasil.
BAB VII. HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
ANALISA UKURAN LUBANG HIDUNG
MK
UKURAN LUBANG HIDUNG
S
3.47 cm
T
3.45 cm
I
3.46 cm
F
3.56 cm
In
3.56 cm
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk lubang hidung
terbesar dimiliki F dan In.
PG
UKURAN LUBANG HIDUNG
Si
3.48 cm
Se
3.46 cm
Ti
3.42 cm
Te
3.48 cm
Ii
3.46 cm
Ie
3.46 cm
Fi
3.55 cm
Fe
3.56 cm
In
3.56 cm
Penjelasan : berdasarkan hasil
pengukuran di atas dengan kategori PG lubang hidung terbesar dimiliki Fe dan
In.
Berdasarkan
data di atas Feeling dan Insting baik secara PG maupun MK
memiliki dominasi untuk ukuran lubang hidung.
ANALISA UKURAN RONGGA DADA
MK
RONGGA DADA KANAN
RONGGA DADA KIRI
S
13.12 CM
13.46
CM
T
13.23 CM
14.17 CM
I
13.90 CM
14.32 CM
F
13.75 CM
14.35 CM
In
13.63 CM
14.00 CM
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk rongga dada
kanan ukuran terbesar dimiliki oleh I, sedangkan rongga dada kiri ukuran
terbesar adalah F.
PG
RONGGA DADA KANAN
RONGGA DADA KIRI
Si
13.560 cm
13.750 cm
Se
12.670
cm
13.170
cm
Ti
12.840 cm
13.330 cm
Te
14.500 cm
15.000 cm
Ii
13.300 cm
13.800 cm
Ie
14.500 cm
14.830 cm
Fi
14.500 cm
14.700
cm
Fe
13.000 cm
14.000 cm
In
13.630 cm
14.000 cm
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk rongga dada
kanan ukuran terbesar dimiliki oleh Te, Ie dan Fi, sedangkan rongga dada kiri
ukuran terbesar adalah Te.
Dari data di atas secara MK F dan I sedangkan
secara PG Te, Ie dan Fi mendominasi ukuran rongga dada.
Secara keseluruhan melihat keunggulan di MK dan PG
maka Feeling memiliki dominasi lebih
untuk ukuran rongga dada.
ANALISA PANJANG BAHU
MK
PANJANG BAHU
S
14.38
T
14.14
I
14.09
F
14.36
In
13.88
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk panjang bahu
terpanjang dimiliki S.
PG
PANJANG BAHU
Si
14.64
Se
14.12
Ti
13.90
Te
14.38
Ii
14.00
Ie
14.18
Fi
14.00
Fe
14.71
In
13.88
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk panjang bahu
terpanjang dimiliki oleh Fe.
Berdasarkan
data di atas Fe secara PG dan S secara MK memiliki dominasi
untuk ukuran panjang bahu.
ANALISA TEBAL BAHU
MK
TEBAL BAHU
S
16.33
T
16.22
I
16.81
F
16.98
In
16.38
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk bahu paling tebal dimiliki oleh F.
PG
TEBAL BAHU
Si
16.73
Se
15.92
Ti
17.00
Te
15.44
Ii
18.62
Ie
15.00
Fi
17.00
Fe
16.96
In
16.38
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk bahu paling tebal dimiliki oleh Ii.
Berdasarkan data di atas Feeling secara MK dan Ii secara PG memiliki dominasi untuk ukuran tebal bahu.
ANALISA TINGGI BADAN
MK
TINGGI BADAN
S
157.89 CM
T
158.46 CM
I
157.95 CM
F
160.63 CM
In
159.69 CM
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk badan paling tinggi dimiliki oleh F.
PG
TINGGI BADAN
Si
158.80 cm
Se
156.98 cm
Ti
155.11 cm
Te
161.81 cm
Ii
159.85 cm
Ie
156.05 cm
Fi
160.80 cm
Fe
160.46 cm
In
159.69 cm
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk badan paling tinggi dimiliki oleh Te.
Berdasarkan data di atas Feeling secara MK dan Te secara PG memiliki dominasi untuk ukuran tinggi badan.
ANALISA BERAT BADAN
MK
BERAT BADAN
S
50.75 kg
T
53.38 kg
I
53.45 kg
F
53.16 kg
In
54.53 kg
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk badan paling berat dimiliki oleh In.
PG
BERAT BADAN
Si
53.25 kg
Se
48.24 kg
Ti
48.01 kg
Te
58.74 kg
Ii
56.45 kg
Ie
50.53 kg
Fi
51.96 kg
Fe
54.67 kg
In
54.53 kg
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk badan paling berat dimiliki oleh Te.
Berdasarkan data di atas In secara MK dan Te secara PG memiliki dominasi untuk ukuran berat badan.
ANALISA DENYUT NADI
MK
DENYUT NADI
S
73.77
T
75.23
I
76.31
F
75.94
In
76.38
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk denyut nadi tertinggi dimiliki oleh In.
PG
DENYUT NADI
Si
70.45
Se
77.08
Ti
73.20
Te
77.25
Ii
74.62
Ie
78.00
Fi
74.70
Fe
77.17
In
76.38
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk denyut nadi tertinggi dimiliki oleh Ie.
Berdasarkan data di atas In secara MK dan Ie secara PG memiliki dominasi untuk ukuran denyut nadi.
ANALISA UKURAN TELINGA
MK
UKURAN TELINGA
S
5.82
T
5.86
I
6.04
F
5.95
In
6.25
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk ukuran telinga terpanjang dimiliki oleh In.
PG
UKURAN TELINGA
Si
5.86
Se
5.77
Ti
5.70
Te
6.01
Ii
6.08
Ie
6.00
Fi
6.07
Fe
5.83
In
6.25
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk ukuran telinga terpanjang dimiliki oleh In.
Berdasarkan data di atas In secara MK dan PG memiliki dominasi untuk ukuran panjang telinga.
ANALISA LINGKAR DADA
MK
LINGKAR DADA
S
79.90
T
83.36
I
82.26
F
81.68
In
81.56
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk lingkar dada
terbesar dimiliki oleh T.
PG
LINGKAR DADA
Si
81.95
Se
77.85
Ti
79.40
Te
87.75
Ii
83.42
Ie
81.09
Fi
80.47
Fe
82.88
In
81.56
Penjelasan : berdasarkan hasil
pengukuran di atas dengan kategori PG untuk lingkar dada terbesar dimiliki oleh
Te.
Berdasarkan
data di atas T secara MK dan Te secara
PG memiliki dominasi untuk ukuran lingkar
dada.
ANALISA LINGKAR PERUT
MK
LINGKAR PERUT
S
73.20
T
76.50
I
75.64
F
75.72
In
76.06
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk lingkar perut
terbesar dimiliki T.
PG
LINGKAR PERUT
Si
76.09
Se
70.31
Ti
72.55
Te
80.44
Ii
78.50
Ie
72.77
Fi
75.35
Fe
76.08
In
76.06
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk lingkar perut
terbesar dimiliki Te.
Berdasarkan
data di atas T secara MK dan Te secara
PG memiliki dominasi untuk ukuran lingkar
perut.
ANALISA LINGKAR PINGGANG
MK
LINGKAR PINGGANG
S
81.86
T
84.15
I
83.20
F
83.67
In
84.3 8
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk lingkar
pinggang terbesar dimiliki In.
PG
LINGKAR PINGGANG
Si
83.94
Se
79.77
Ti
81.05
Te
87.25
Ii
86.85
Ie
79.55
Fi
83.80
Fe
83.54
In
84.38
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk lingkar
pinggang terbesar dimiliki Te.
Berdasarkan data di atas In secara MK dan Te secara PG memiliki dominasi untuk ukuran lingkar pinggang.
ANALISA PANJANG TULANG BELAKANG
MK
PANJANG TULANG BELAKANG
S
57.53
T
57.98
I
58.73
F
59.38
In
59.00
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk tulang belakang
terpanjang dimiliki F.
PG
PANJANG TULANG BELAKANG
Si
55.82
Se
59.23
Ti
54.70
Te
61.25
Ii
55.23
Ie
62.23
Fi
58.45
Fe
60.30
In
59.00
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk tulang belakang
terpanjang dimiliki Ie.
Berdasarkan data di atas F secara MK dan Ie secara PG memiliki dominasi untuk ukuran tulang belakang.
ANALISA PANJANG TULANG LEHER
MK
PANJANG TULANG LEHER
S
9.13
T
8.61
I
11.92
F
9.27
In
9.25
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk tulang
leher terpanjang dimiliki I.
PG
PANJANG TULANG LEHER
Si
9.49
Se
8.77
Ti
9.00
Te
8.21
Ii
8.46
Ie
15.38
Fi
9.45
Fe
9.08
In
9.25
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk tulang
leher terpanjang dimiliki Ie.
Berdasarkan data di atas I secara MK dan Ie secara PG memiliki dominasi untuk ukuran tulang leher.
ANALISA PANJANG TUNGKAI BAWAH
MK
PANJANG TUNGKAI BAWAH
S
91.80
T
92.92
I
89.58
F
92.00
In
93.25
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk tungkai
bawah terpanjang dimiliki In.
PG
PANJANG TUNGKAI BAWAH
Si
92.64
Se
90.96
Ti
91.20
Te
94.63
Ii
90.38
Ie
88.77
Fi
88.80
Fe
95.21
In
93.25
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk tungkai
bawah terpanjang dimiliki Fe.
Berdasarkan data di atas In secara MK dan Fe secara PG memiliki dominasi untuk ukuran panjang tungkai bawah.
ANALISA LINGKAR KEPALA
MK
LINGKAR KEPALA
S
54.49
T
54.38
I
54.58
F
54.41
In
54.19
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk lingkar kepala
terbesar dimiliki I.
PG
LINGKAR KEPALA
Si
54.36
Se
54.62
Ti
54.20
Te
54.56
Ii
54.38
Ie
54.77
Fi
54.18
Fe
54.64
In
54.19
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk lingkar kepala
terbesar dimiliki Ie.
Berdasarkan data di atas I secara MK dan Ie secara PG memiliki dominasi untuk ukuran lingkar kepala.
ANALISA PANJANG WAJAH
MK
PANJANG WAJAH
S
19.99
T
19.30
I
19.60
F
19.30
In
19.81
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk ukuran wajah terpanjang
dimiliki S.
PG
PANJANG WAJAH
Si
19.97
Se
20.00
Ti
18.90
Te
19.69
Ii
19.62
Ie
19.59
Fi
19.53
Fe
19.08
In
19.81
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk ukuran wajah
terpanjang dimiliki Se.
Berdasarkan data di atas S secara MK dan Se secara PG memiliki dominasi untuk ukuran panjang wajah.
ANALISA LEBAR WAJAH
MK
LEBAR WAJAH
S
25.21
T
26.08
I
25.97
F
25.89
In
26.56
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk ukuran wajah
terlebar dimiliki In.
PG
LEBAR WAJAH
Si
26.00
Se
24.42
Ti
25.90
Te
26.25
Ii
25.88
Ie
26.06
Fi
25.45
Fe
26.33
In
26.56
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk ukuran wajah
terlebar dimiliki In.
Berdasarkan data di atas In secara MK dan PG memiliki dominasi untuk ukuran lebar wajah.
ANALISA UKURAN JANTUNG
MK
UKURAN JANTUNG
S
10.99
T
12.92
I
11.35
F
11.98
In
11.63
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk ukuran jantung
terbesar dimiliki T.
PG
UKURAN JANTUNG
Si
11.31
Se
10.67
Ti
11.33
Te
14.5
Ii
10.7
Ie
12.00
Fi
12.2
Fe
11.75
In
11.63
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk ukuran jantung
terbesar dimiliki Te.
Berdasarkan data di atas T secara MK dan Te secara PG
memiliki dominasi untuk ukuran jantung.
ANALISA HEPAR
MK
LOBUS KANAN
LOBUS KIRI
S
9.88
5.70
T
10.64
6.46
I
9.73
6.25
F
10.71
7.91
In
10.71
6.42
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk ukuran lobus
kanan hepar terbesar dimiliki F dan In, sedangkan untuk lobus kiri dimiliki
oleh F.
PG
LOBUS KANAN
LOBUS KIRI
Si
9.65
6.06
7.86
Se
10.10
5.33
7.72
Ti
10.08
7.30
8.69
Te
11.20
5.62
8.41
Ii
9.31
5.95
7.63
Ie
10.14
6.55
8.35
Fi
11.05
7.80
9.45
Fe
10.37
8.02
9.20
In
10.71
6.42
8.57
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk ukuran lobus
kanan hepar terbesar dimiliki Te, sedangkan untuk lobus kiri dimiliki oleh Fe.
Berdasarkan data di atas F secara MK dan Te serta Fe
secara PG memiliki dominasi untuk ukuran hepar.
ANALISA UKURAN GINJAL
MK
SUPEROINFERIOR KANAN
SUPEROINFERIOR KIRI
ANTEROPOSTERIOR KANAN
ANTEROPOSTERIOR KIRI
S
9.33
9.36
3.85
4.67
T
9.26
7.58
4.73
4.79
I
9.1
9.88
4.22
5.06
F
9.38
9.64
3.99
4.9
In
8.85
8.85
3.84
4.59
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk ukuran lobus :
Superoinferior kanan
: F
Superoinferior kiri :
I
Anteroposterior kanan
: T
Anteroposterior kiri
: I
PG
SUPEROINFERIOR KANAN
SUPEROINFERIOR KIRI
ANTEROPOSTERIOR KANAN
ANTEROPOSTERIOR KIRI
Si
9.41
9.16
4.40
5.12
Se
9.24
9.55
3.30
4.21
Ti
9.42
10.09
4.70
4.52
Te
9.10
5.06
4.75
5.05
Ii
9.21
9.94
4.33
4.45
Ie
8.99
9.82
4.11
5.67
Fi
8.78
9.20
4.29
5.09
Fe
9.97
10.08
3.68
4.71
In
8.85
8.85
3.84
4.59
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk ukuran lobus :
Superoinferior kanan
: Fe
Superoinferior kiri :
Ti
Anteroposterior kanan
: Te
Anteroposterior kiri
: Ie
Berdasarkan data di atas terdapat variasi dominasi
beberapa MK dan PG untuk dominasi untuk
ukuran Ginjal.
Secara umum bisa diasumsikan bahwa T memiliki dominasi untuk ukuran ginjal.
ANALISA SPIROMETRI
MK
VC
FVC
FEV1
FEV1/FVC
S
84.14
78.43
80.21
101.95
T
79.95
70.60
69.79
98.93
I
93.13
85.21
83.62
97.59
F
88.60
80.07
82.02
102
In
77.98
73.94
75.67
104.67
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk angka
spirometri tertinggi dimiliki :
VC : I
FVC : I
FEV1 : I
FEV1/FVC : In
PG
VC
FVC
FEV1
FEV1/FVC
Si
83.62
85.02
85.14
99.34
Se
84.65
71.84
75.28
104.56
Ti
85.90
75.83
72.05
95.77
Te
74.00
65.38
67.53
102.09
Ii
93.11
85.34
84.70
98.70
Ie
93.14
85.07
82.53
96.48
Fi
85.20
79.31
82.56
103.43
Fe
92.00
80.82
81.48
100.57
In
77.98
73.94
75.67
104.67
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk angka
spirometri tertinggi dimiliki :
VC : Ie
FVC : Ii
FEV1 : Si
FEV1/FVC : In
Berdasarkan data di atas maka I secara MK dan PG mendominasi hasil pengukuran kapasitas paru.
Keterangan:
VC : Vital Capacity: volume
udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum setelah inspirasi
maksimum. Atau jumlah udara maksimum pada seseorang yang berpindah pada satu
tarikan napas.
FVC : Forced Vital
Capacity = Kapasitas Vital Paksa = Adalah VC yang diukur persatuan waktu.
FEV1 : Forced Expiratory Volume1
(FEV1) adalah volume udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimun per
satuan detik (detik pertama)
FEV1/FVC : volume udara yang dapat
dikeluarkan dengan ekspirasi maksimun per satuan detik (detik pertama)
dibandingkan dengan volume
udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum setelah inspirasi
maksimum. Atau jumlah udara maksimum pada seseorang yang berpindah pada satu
tarikan napas per satu satuan waktu.
ANALISA HEMATOLOGI
HEMOGLOBIN (Hb)
MK
Hb
S
14.07
T
13.45
I
13.36
F
14.19
In
14.38
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk kadar Hb
tertinggi dimiliki In.
PG
Hb
Si
13.91
Se
14.22
Ti
13.36
Te
13.53
Ii
13.42
Ie
13.78
Fi
14.11
Fe
14.27
In
14.38
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk kadar Hb
tertinggi dimiliki In.
Berdasarkan data di atas maka In secara MK dan PG memiliki kadar Hb tertinggi.
ANALISA LEKOSIT
MK
LEKOSIT
S
9.127
T
8.914
I
9.206
F
8.906
In
9.225
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk angka lekosit
tertinggi dimiliki In.
PG
LEKOSIT
Si
9.282
Se
8.972
Ti
8.805
Te
9.023
Ii
8.849
Ie
9.563
Fi
8.232
Fe
9.579
In
9.225
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk angka lekosit
tertinggi dimiliki Fe.
Berdasarkan data di atas maka In secara MK dan Fe secara PG memiliki kadar Lekosit tertinggi.
ANALISA ERITOSIT
MK
ERITROSIT
S
4.995
T
4.884
I
4.913
F
5.076
In
5.116
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk angka eritrosit
tertinggi dimiliki In.
PG
ERITROSIT
Si
4.970
Se
5.020
Ti
4.852
Te
4.915
Ii
4.970
Ie
4.856
Fi
5.127
Fe
5.025
In
5.116
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk angka eritrosit
tertinggi dimiliki Fi.
Berdasarkan data di atas maka In secara MK dan Fi secara PG memiliki kadar Lekosit tertinggi.
ANALISA TROMBOSIT
MK
TROMBOSIT
S
397.250
T
286.150
I
362.950
F
356.050
In
236.200
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori MK untuk angka trombosit
tertinggi dimiliki S.
PG
TROMBOSIT
Si
347.800
Se
446.700
Ti
317.300
Te
255.000
Ii
413.600
Ie
312.300
Fi
296.200
Fe
415.900
In
236.200
Penjelasan
: berdasarkan hasil pengukuran di atas dengan kategori PG untuk angka trombosit
tertinggi dimiliki Se.
Berdasarkan data di atas maka S secara MK dan Se secara PG memiliki kadar Trombosit tertinggi.
BAB
VIII. ANALISA HASIL BERDASARKAN MK
MK FEELING
F MEMILIKI DOMINASI SISTIM RESPIRASI (PERNAFASAN)
Berdasarkan data yang diperoleh
dari penelitian ini maka dapat digambarkan bahwa F memiliki kelebihan dalam :
Ukuran lubang hidung
(Fe)
Ukuran rongga dada
kanan (Fi) dan rongga dada kiri (F)
Panjang bahu (Fe)
Tebal bahu (F)
Extremitas bawah
terpanjang (Fe)
Tinggi badan (F)
Angka lekosit
tertinggi (Fe)
Kadar Eritrosit
tertinggi (Fi)
Angka hematokrit
tertinggi (Fe)
Memiliki
ukuran Hepar lobus kanan dan kiri terbesar (F)
Ginjal superoinferior
kanan terbesar (F dan Fe)
Kondisi di atas membuat F
memiliki dominasi dalam sistim pernafasan. Ukuran lubang hidung yang besar
memudahkan udara (oksigen) masuk dalam jumlah besar ditopang dengan ukuran
paru-paru yang cukup besar sehingga memungkinkan penyimpanan oksigen dalam
jumlah banyak.
Untuk menunjang fungsi di atas
maka F diberikan tanda fisik selain ukuran hidung dan rongga dada yang besar yaitu
bahu yang panjang dan tebal.
F juga memiliki kelebihan fisik
lain yaitu extremitas bawah (panjang kaki dari pinggul ke mata kaki) dengan
ukuran paling panjang. Hal ini membantu F untuk memaksimalkan tubuh yang tinggi
untuk mendapatkan udara lebih banyak.
Tulang yang panjang membuat
sum-sum tulang F mampu memproduksi sel-sel darah dalam jumlah banyak terutama
sel darah putih (lekosit). F memiliki jumlah lekosit (sel darah putih) paling
tinggi (dalam batas normal) sehingga F memiliki sistim pertahanan tubuh melalui
sel darah putih paling bagus.
F juga memiliki jumlah eritrosit
(sel darah merah) dan hematokrit paling tinggi (dalam batas normal) sehingga F
memiliki volume sel darah merah cukup banyak dimana eritrosit membawa nutrisi
dan oksigen ke seluruh tubuh.
Sebagai salah satu MK yang
memiliki ukuran hepar paling besar membuat F mampu memproduksi sel-sel darah
dan mensintesa seluruh komponen dari darah yang diolah di hati serta memiliki
kemampuan metabolisme racun-racun dalam tubuh dengan baik.
F memiliki kelebihan dalam ukuran
ginjal, hal ini sangat mendukung F dalam melakukan membersihkan darah dari
sisa-sisa metabolisme dan racun ke luar tubuh melalui urine.
MK THINKING sekresi
T memiliki beberapa kelebihan
berdasarkan penelitian di atas, yaitu :
memiliki tubuh paling
tinggi (Te)
berat badan paling
berat (T dan Te)
lingkaran dada
terbesar (T dan Te)
lingkar perut terbesar
(T dan Te)
lingkar pinggang
terbesar (Te)
Ukuran jantung
terbesar (T dan Te)
Memiliki ukuran
bagian antero-posterior hepar terbesar (berdasarkan USG abdomen) (Te)
Salah satu MK dan PG yang memiliki ukuran ginjal terbesar
(T, Ti dan Te).
Kelebihan
postur di atas membuat T layak dinobatkan menjadi pemimpin/komandan yang
memiliki wibawa untuk memimpin anak buahnya.
Memiliki
jantung dengan ukuran paling besar membuat T
Sebagai
salah satu MK yang memiliki ukuran Hepar terbesar membuat T mampu menetralisir
racun-racun di dalam tubuh dengan cepat.
Ukuran
ginjal yang besar membuat T memiliki kecepatan membersihkan darah dari
racun-racun sisa metabolisme dalam tubuh.
MK INTUITING
I
memiliki keunggulan sebagai berikut :
Ukuran bahu paling tebal (Ii)
Merupakan salah satu
PG yg memiliki ukuran rongga paru kanan terbesar (I)
Hasil spirometri SVC,
FVC DAN FEV1 tertinggi untuk kategori MK I
Ukuran spirometri
tertinggi kategori PG :FVC tertinggi (Ii),
SVC (Ie)
Denyut nadi tertinggi
(Ie)
Tulang belakang terpanjang
(Ie)
Tulang leher
terpanjang (I dan Ie)
Lingkar kepala
terbesar (I dan Ie)
Lingkar pinggang
terbesar (Ie)
Memiliki
kadar lekosit dan trombosit yang cukup tinggi di dalam darah.
MK SENSING
S
memiliki keunggulan dalam :
Hasil spirometri FEV1
tertinggi Si
Ukuran wajah
terpanjang menurut garis vertical (S dan Se)
Angka Trombosit
tertinggi (S dan Se)
MK INSTING
In memiliki dominasi dalam :
Ukuran telinga
terpanjang (MK dan PG)
Ukuran wajah terlebar
secara horizontal (MK dan PG)
Ukuran lubang hidung
(MK dan PG)
Berat badan terbesar
(MK)
Eritrosit tertinggi
(MK)
Kadar Hb tertinggi
(MK dan PG)
FEV1/FVC tertinggi
(MK dan PG)
Salah satu MK yang memiliki ukuran lobus kanan
hepar terbesar
BAB
IX. KESIMPULAN
Dari
data-data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar temuan
karakteristik fisik dalam penelitian ini sesuai dengan ciri-ciri umum fisik STFIn.
ANALISA
PENELITI
Mencermati
hasil penelitian dan mencoba menghubungkan dengan hipotesa STIFIn maka peneliti
menyimpulkan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan peneliti
mengusulkan dominasi organ dijelaskan dengan konsep sebagai berikut :
Sensing memiliki dominasi pada sistim pencernaan.
Thinking memiliki dominasi pada sistim ekskresi.
Intuiting memiliki dominasi pada sistim sintesa dan saraf.
Feeling memiliki dominasi pada sistim pernafasan.
Insting memiliki dominasi pada sistim sirkulasi darah dan kesimbangan tubuh (kesimpulan berdasarkan letak mesin kecerdasan In yang berada di otak tengah yang merupakan pusat keseimbangan).
This research is expected to give a new view on the relationship of personality to job performance which is the results of previous research that using the MBTI personality type and “The Big Five Personality” provides a review of inconsistent results.
The STIFIn personality type (Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling and Insting), the personality type was conceptualized by Poniman (2010) using an analytical psychology approach pioneered by Jung (1946), the theory of The Whole Brain Concept from Ned Herrmann (1989) and the Triune Brain theory Paul McLean’s (1990) development has been used extensively in various fields of life.
This study comprehensively investigates the effect of the practice of human resource management based on STIFIn personality (HR STIFIn) on job performance. The results of the study found a significant effect on the practice of STIFIn based HR Management, namely selection and retention, on job performance. The sampling technique in this study used purposive sampling with a sample size of 50 (response 50% rate). Data collection was done by distributing questionnaires using a 5-point Likert scale. The first proposed research framework and partial least square – structural equation modeling (PLS-SEM) were used to test the research framework.
From the results of model 1 analysis, it is found that selection, retention, task performance, and contextual performance are related to each other. Likewise with the indicators of each exogenous and endogenous variable has a significant effect.
Subsequent research can be done with a larger number of respondents so that they can see the influence of demographic factors of each intelligence machine on the relationship between HR STIFIn practices and Job performance.
Pendahuluan
Tantangan perusahaan untuk meraih keunggulan bersaing (competitive advantage) adalah konsistensinya dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Michael Porter (1985) memberikan perspektif bahwa pengelolaan sumber daya manusia bisa mewakili sumber keunggulan kompetitif perusahaan karena bisa meraih dan mengembangkan karyawan yang lebih efektif dari pada pesaing.
Karyawan terbaik bisa menciptakan keunggulan bersaing perusahaan baik dalam kegiatan utama maupun pada aktivitas pendukung rantai nilai (value chain) perusahaan. Keunggulan bersaing sebagian besar berasal dari sumber daya manusia perusahaan (Pfeffer, 1994), penelitian M.J. Koch dan R.G. McGrath (1996) menunjukkan adanya hubungan yang nyata dan signifkan antara pengelolaan sumber daya manusia organisasi dengan produktivitas karyawannya.
Jean Marie Hiltrop (1996) menyatakan adanya bukti yang konsisten bahwa kebijakan dan praktik HRM dari sebuah organisasi memiliki pengaruh yang kuat dalam memotivasi karyawan untuk menunjukkan jenis sikap dan perilaku yang dibutuhkan untuk mendukung dan menerapkan strategi persaingan suatu organisasi.
Sistem dan praktik MSDM harus mampu mendorong dan meningkatkan kinerja pekerjaan (job performance) yang didefinisikan Campbell (1993) sebagai perilaku individu (individual behavior) yang relevan atau sejalan dengan tujuan perusahaan.
Boudreau & Ramstad (2005) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa keberhasilan organisasi sekarang bergantung pada bagaimana mempertahankan orang-orang dan sejalan dengan dampak globalisasi yang terus meningkat, semakin dibutuhkan karyawan-karyawan berbakat.
Secara teoritis, Jackson & Schuler (1995) dan Lado & Wilson (1994), serta penelitian empiris HRM lainnya, diantaranya Huselid (1995) dan MacDuffie ( 1995) telah memberikan bukti bahwa metode yang digunakan oleh perusahaan untuk mengelola tenaga kerjanya memiliki dampak positif pada kinerja perusahaan, seperti juga hasil penelitian Becker & Huselid (1998), Delery & Shaw (2001), dan Wright & Boswell (2002).
Beberapa penelitian telah mengklarifikasi kegunaan menggunakan variabel kepribadian untuk memprediksi kinerja pekerjaan. Glaister (2016) memberikan bukti adanya fungsi mediasi talent management pada hubungan HRM dengan kinerja perusahaan.
Penelitian lain (Barrick & Mount, 1991; Hough, 1992; Salgado, 1997; Tett, Jackson, & Rothstein, 1991) telah menunjukkan bahwa konstruksi personality memang terkait dengan kinerja kerja (job performance). Namun, sangat sedikit penelitian yang meneliti mekanisme di mana sifat kepribadian mempengaruhi kinerja.
Penelitian sebelumnya yang menggunakan tipe kerpibadian MBTI dan “The Big Five Personality” pada hubungan kepribadian (personality) dengan kinerja pekerjaan (job performance) memberikan tinjauan hasil yang tidak konsisten. Penelitian ini secara komprehensif menyelidiki pengaruh praktik manajemen sumber daya manusia berbasis kepribadian STIFIn (HR STIFIn) terhadap kinerja pekerjaan (job performance).
Tipe kepribadian STIFIn (Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling dan Insting) yang dikonsepsikan oleh Poniman (2010) dengan menggunakan pendekatan psikologi analitis yang dipelopori oleh Jung (1946), teori The Whole Brain Concept dari Ned Herrmann (1989) dan teori Triune Brain yang dikembangkan Paul McLean (1990) telah digunakan secara luas di berbagai bidang kehidupan.
Tipe Kepribadian dan Kinerja Pekerjaan
Jika perusahaan mengatur karyawannya sesuai dengan tipe kepribadian mereka dan potensi kemampuan mereka, produktivitas dan kualitas dapat ditingkatkan. Penelitian jenis kepribadian MBTI terus dilakukan sebagai prediktor terhadap kinerja pekerjaan, nampaknya cukup banyak pengaruhnya (Cunha, 2007), seperti juga penelitian Borg (1996) dengan menggunakan tipe kepribadian MBTI menunjukkan hasil bahwa tipe kepribadian memiliki pengaruh penting pada keberhasilan siswa.
Siswa yang tipe temperamennya cocok dengan temperamen instruktur kelas secara signifikan lebih baik hasil kinerjanya daripada siswa yang tipe temperamennya tidak cocok dengan instruktur. Demikian pula Bradely (1997) dan Mazni et al., (2010) memberikan bukti bahwa tipe kepribadian merupakan faktor penting dalam kinerja tim yang sukses.
Organisasi yang ingin mengembangkan tim yang efektif perlu menganalisis komposisi tipe kepribadian dari kelompok-kelompok ini dan membantu anggota tim memahami atribut pribadi mereka sendiri serta menghargai kontribusi dari anggota tim lainnya.
Namun pada penelitian lain yang dilakukan dengan berbeda budaya, seperti yang dilakukan oleh Furnham (1993), kepribadian MBTI gagal menghasilkan korelasi besar terhadap kinerja. MBTI tampaknya tidak terkait dengan ukuran kinerja manajemen yang kuat dan multi-faktorial.
Demikian pula dengan konsep kepribadian “The Big-Five Personality”, meskipun beberapa literatur membuktikan kepribadian “The Big Five” sebagai prediktor kinerja pekerjaan (job performance) (Bhatti, et al., 2013), namun oleh beberapa peneliti bahwa ukuran-ukuran kepribadian tidak memprediksi kinerja pekerjaan secara konsisten.
Seperti Barrick dan Mount (1991) dan Hurtz & Donovan (2000) yang meneliti hubungan kepribadian “The Big Five” dengan kinerja pekerjaan (job performance), menemukan hanya satu dimensi yaitu ketelitian (conscientiousness) yang berhubungan secara konsisten dengan kinerja pekerjaan (job performance).
Ada dugaan yang diajukan pada kedua konsep dan teori kepribadian tersebut bahwa pengukuran terhadap dimensi kepribadian menggunakan atribut perilaku yang bisa berubah-ubah dan bisa terbentuk oleh faktor lingkungan dimana seseorang hidup dan berinteraksi.
Konsep tipe kepribadian STIFIn (STIFIn personality) yang dikembangkan oleh Poniman (2009) dan juga merupakan aliran Jungian, menggunakan pedekatan secara otentik keterhubungan fungsi dan cara kerja otak secara alamiah dengan tindakan dan perilaku manusia yang bisa diukur dengan alat test genetika, seperti tes sidik jari, test DNA maupun test retina.
Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rafianti, et al., (2017), Mundiri (2017), Arifin (2017), dan Alindra (2018) telah membuktikan penggunaan kepribadian STIFIn secara konsisten bisa menghasilkan kinerja pekerjaan yang lebih baik.
Secara khusus, Poniman dan Hadiyat (2015) dalam bukunya Manajemen HR STIFIn memberikan proposisi hasil pengamatan dan pengalaman selama beberapa tahun sebagai praktisi HR, yaitu adanya pengaruh positif praktik Manajemen HR dengan menggunakan skema tipe kepribadian STIFIn dalam meningkatkan produktivitas karyawan.
Seseorang yang bekerja pada bidang apapun yang sesuai dengan cara kerja mesin kecerdasannya, akan merasa nyaman dan bisa memberikan produktivitas secara terus menerus dan lebih konsisten. Penelitian ini akan menguji proposisi tersebut yaitu bagaimana pengaruh penerapan praktik manajemen HR STIFIn terhadap kinerja karyawan.
Tinjauan Literatur
Konsep Tipe Kepribadian STIFIn
Orang-orang di perusahaan adalah kunci keberhasilan untuk pencapaian visi dan strategi perusahaan. Manusia adalah subyek yang memiliki potensi dasar dan karakternya yang dibawa sejak lahir yang akan menentukan produktivitas individual dan secara agregrat akan menentukan produktivitas perusahaan.
Ned Hermann dalam jurnalnya “The Creative Brain” tahun 1989 tentang konsep kuadran otak menjelaskan indikasi adanya karakteristik otak yang berdampak pada cara berfikir dan cara belajar. Otak sangat lunak yang hampir tidak ada kendala yang melekat. Keseluruhan otak memiliki akses ke masing-masing belahan otak dan sebagian dari otak dominan menentukan preferensi cara berfikir dan belajar.
Konsep kepribadian STIFIn fokus hanya pada satu mesin kecerdasan dominan saja, Konsep STIFIn Personality merujuk pada pandangan pakar psikologi analitis Carl Gustav Jung (1946), seorang ahli Psikologi Analitik, menyatakan bahwa diantara semua fungsi dasar manusia atau mesin kecerdasan hanya ada satu yang dominan.
Menurut Jung, fungsi dasar kepribadian manusia terbagi dalam empat jenis yaitu; fungsi penginderaan (Sensing, disingkat S), fungsi pikiran (Thinking disingkat T), fungsi perasaan (Feeling disingkat F), fungsi intuisi (Intuiting disingkat I), dan dalam Konsep STIFIn Personality (Poniman, 2009) ditambahkan adanya mesin kecerdasan Insting, disingkat In, yaitu fungsi naluriah dan spiritualitas.
Dari penelitian yang telah dilakukan selama 5 (lima) tahun yaitu pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, tentang kecerdasan manusia, memberikan tesis bahwa setiap orang memiliki kecerdasan dominan tunggal yang dibawa semenjak lahir (Poniman, 2009).
Konsepnya bersandar secara ilmiah kepada pendekatan psikologi analitis yang dipelopori oleh Jung (1989), dikompilasi dengan teori The Whole Brain Concept dari Ned Herrmann dan teori Triune Brain yang dikembangkan Paul McLean.
Paradigma awal yang digunakan adalah psikologi analitis. Penempaan manusianya sendiri menggunakan pendekatan keperilakuan yang humanis. Manusia dianggap memiliki potensi genetis yang sudah luar biasa. Ketika potensi ini mendapat lingkungan dan tempaan yang tepat serta terencana, maka hasil yang keluar pada akhirnya akan menjadi ekstra luar biasa.
Tabel 1.
Kecerdasan Otak dan Tipe Kepribadian
Fungsi
DasarCarl
Gustav Jung
Jenis
KecerdasanNed
Herrman
Strata
Otak TriunePaul
MacLean
Tipe
Kepribadian STIFIn
Sensing
Limbik
Kiri
Otak
Mamalia
Sensisng
Thinking
Neokortek
Kiri
Otak
Insani
Thinking
Intuiting
Neokortek
Kanan
Otak
Insani
Intuiting
Feeling
Limbik
Kanan
Otak
Mamalia
Feeling
‒
‒
Otak
Reptilia
Insting
Sumber: Poniman (2009)
Proposisi yang diajukan (Poniman, 2009) bahwa keempat fungsi dasar Jung tersebut jika dikaitkan dengan teori pemikiran kreatif Ned Herrman tentang kuadran otak, maka keempat fungsi dasar tersebut tidak lain merupakan karakter kepribadian yang kekal, tidak berubah, yang bersumber dari belahan otak yang paling sering digunakan.
Kuadran otak besar kiri (neokortek kiri) merupakan kecerdasan sekaligus karakter kepribadian Thinking (T). Otak besar kanan (neokortek kanan) merupakan kecerdasan Intuiting (I). Kuadran otak kecil kiri (limbik kiri) merupakan kecerdasan sekaligus karakter kepribadian Sensing (S). Otak kecil kanan (limbik kanan) merupakan kecerdasan sekaligus karakter kepribadian Feeling (F).
Dengan demikian maka fungsi dasar Jung mempunyai kesamaan dengan kuadran otak Ned Herrman. Sementara itu, kecerdasan kelima yaitu Insting muncul dikarenakan ada yang tidak cenderung ke salah satu dari empat kategori karakter kepribadian yang ditawarkan Jung dan Ned Herrman ataupun peneliti-peneliti lainnya.
Kecenderungan ini dominan menggunakan belahan otak yang lain, yaitu otak naluri (Instingive) yang berada di tengah atau paling bawah (hindbrain dan midbrain) yang bersambungan langsung pada tulang belakang. Kecerdasan kelima Insting (I), terletak pada fungsi gabungan cerebellum, medulla, midbrain, pons, dan brain stem (The functional organization of the brain) yaitu cepat merespon sesuatu.
Dalam konsep STIFIn, ada yang disebut sebagai kemudi yaitu introvert dan ekstrovert. Introvert mengarahkan kecerdasan dari dalam ke luar, sebaliknya ekstrovert mengarahkan kecerdasan dari luar ke dalam.
Selain kecerdasan Insting, empat kecerdasan lainnya memiliki kemudi, yaitu, Sensing (S) terdiri dari Sensing introvert (Si) dan Sensing ekstrovert (Se); Thinking terdiri dari Thinking introvert (Ti) dan Thinking ekstrovert (Te); Intuiting dan Feeling masing-masing terdiri dari Intuiting introvert (Ii), Intuiting ekstrovert (Ie), Feeling introvert (Fi), dan Feeling ekstrovert (Fe).
Jadi ada sembilan jenis kepribadian yang berasal dari empat mesin kecerdasan setelah ditempel oleh kemudinya ditambah mesin kecerdasan Insting. Sembilan jenis kepribadian itu adalah Si, Se, Ti, Te, Ii, Ie, Fi, Fe, dan In.
Setiap jenis kepribadian memiliki ciri-ciri utama, orang yang memiliki personalitas Sensing introvert memiliki kemampuan mengingat yang melebihi delapan kepribadian lainnya. Kepribadiannya berbasis pada lima indra.
Staminanya kuat, bekerja efisien, disiplin, memperlihatkan detail, hemat, jika diminta membantu dia lebih memilih mengeluarkan tenaganya ketimbang uangnya. Hal ini terjadi mungkin karena tipe ini mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dengan mengandalkan volume bukan dari margin.
Sedangkan Sensing ekstrovert memiliki kepribadian yang lebih dermawan dan cenderung lebih boros, lebih santai dan suka bersenang-senang, suka pamer (show off) atau demonstratif. Kemampuan mengingatnya luar biasa dan mampu memvisualisasikannya secara rinci. Menyukai hadiah atau sumber motivasinya dalam bentuk hadiah.
Adapun Thinking introvert memiliki kepribadian mandiri, fokus pada pekerjaan, memberlakukan standar yang tinggi pada hasil pekerjaan. Dia bukan tipe medioker. Jika menekuni sesuatu dia akan fokus sampai mencapai taraf ahli alias tidak mau setengah-setengah jika mengerjakan pekerjaan. Pada umumnya memiliki kemampuan analitis yang baik. Suka membaca yang pada akhirnya menguasai persoalan.
Sementara tipe Thinking ekstrovert memiliki kepribadian seperti segera bereaksi terhadap ketidakadilan, objektif menilai, menerima argumentasi orang lain dengan logika, sistematis dalam bekerja dan menyukai formalitas. Kepribadian Intuiting introvert antara lain lebih mementingkan kualitas, dari pada kuantitas, sehingga mementingkan kesempurnaan, kepuasannya pada hal-hal yang baru atau inovatif, keras kepala untuk memperjuangkan kemauannya, karena memilki pandangan optimistis.
Segala sesuatu dilihat dari kacamata manfaat. Intuiting ekstrovert memiliki personalitas berani mengambil resiko, ide-idenya banyak, romantis, dan memberi inspirasi bagi lingkungannya. Akan halnya Feeling introvert memiliki kepribadian antara lain visioner, nge-bossy, penolong, mudah bergaul, pintar berkata-kata, idealis dan cepat sakit hati.
Sementara kepribadian feeling ekstrovert antara lain, berjiwa sosial, memilki kemampuan menggembleng orang, subjektif, berani, ambil resiko, toleran, dan berempati. Terakhir, kepribadian Insting adalah tidak suka konflik, tulus berkorban untuk orang lain, jalan pikirannya simpel, sederhana, dan akomodatif.
Setiap orang memiliki kecerdasan dominan tunggal yang dibawa semenjak lahir. Manusia dianggap memiliki potensi genetis yang sudah luar biasa.
Kuadran otak besar kiri (neokortek kiri) merupakan kecerdasan sekaligus karakter kepribadian Thinking (T).
Otak besar kanan (neokortek kanan) merupakan kecerdasan Intuiting (I).
Kuadran otak kecil kiri (limbik kiri) merupakan kecerdasan sekaligus karakter kepribadian Sensing (S).
Otak kecil kanan (limbik kanan) merupakan kecerdasan sekaligus karakter kepribadian Feeling (F).
Kecerdasan kelima tidak cenderung ke salah satu dari empat kategori karakter kepribadian, tetapi dominan menggunakan belahan otak yang lain, yaitu otak naluri (Instingive) yang berada di tengah atau paling bawah (hindbrain dan midbrain) yang bersambungan langsung pada tulang belakang.
Kecerdasan kelima tersebut disebut dengan Insting (I), terletak pada fungsi gabungan cerebellum, medulla, midbrain, pons, dan, brain stem (The Functional Organization of The Brain) yaitu cepat merespon sesuatu.
Manajemen HR STIFIn dan Kinerja Pekerjaan
Telah banyak penelitian yang dilakukan tentang pengaruh sistem dam praktik manajemen HR terhadap kinerja perusahaan (firm performance) maupun terhadap kinerja karyawan.
Glaister, et al., (2016) yang meneliti strategi manajemen HR dan keselarasan bisnis business, melaporkan adanya pengaruh stretagi HR dalam meningkatkan kinerja perusahaan, tetapi tidak menjadi komponen esensial dalam kaitannya terhadap praktik manajemen talent dengan kinerja pekerjaan.
Praktik manajemen HR terhadap kinerja karyawan lebih banyak dipengaruhi oleh karakter dan kepribadian individual. Bowen dan Ostroff (2004) dalam artikelnya “Understanding HRM–Firm Performance Linkages: The role of the strength of the HR system”, melaporkan bahwa sistem manajemen HR dapat menjelaskan bagaimana akumulasi dari atributif individual karyawan berpengaruh terhadap efektifitas organisasi.
Studi tentang hubungan tipe kepribadian atau personality trait dengan kinerja pekerjaan (job performance) telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya yaitu, penelitian Lado dan Alonso (2017) yang melakukan penyelidikan hubungan antara personality traits dan job performance dengan menggunakan variabel moderasi kompleksitas kerja (job complexity), kemudian studi Leena dan Kirupa (2016); Askarian dan Eslami (2013) yang melakukan penelitian terhadap pengaruh karakter tipe kepribadian terhadap kinerja pekerjaan (job performance), dan penelitian Kim dan Han (2014) menunjukkan bahwa tingkat prestasi akademik dan kepuasan siswa itu berbeda menurut tipe kepribadian MBTI mereka.
Ciorbea dan Pasarica (2012) menyatakan bahwa memahami perbedaan karakter (big five personality traits) secara akurat berpengaruh besar dalam kinerja prestasi akademik dan secara luas berimplikasi terhadap dunia pendididikan. Penelitian lain tentang personality trait sebagai variabel moderasi “honesty-humility trait” atau Hexaco model of personality pada hubungan antara job insecurity terhadap counter-productive works behavior (Chirumbolo, 2014); dan penelitian personality traits of “The Big Five model” memoderasi hubungan antara komitmen dan kesetiaan (Palilati et al., 2016).
Namun penelitian yang dilakukan oleh Furnham (1993) pada kepribadian MBTI gagal menghasilkan korelasi besar terhadap kinerja. MBTI tampaknya tidak terkait dengan ukuran kinerja manajemen yang kuat dan multi-faktorial.
Demikian pula dengan konsep kepribadian “The Big-Five Personality”, meskipun beberapa literatur membuktikan kepribadian “The Big Five” sebagai prediktor kinerja pekerjaan (Bhatti, et al., 2013), namun oleh beberapa peneliti bahwa ukuran-ukuran kepribadian tidak memprediksi kinerja pekerjaan secara konsisten.
Seperti Barrick dan Mount (1991) dan Hurtz & Donovan (2000) yang meneliti hubungan kepribadian “The Big Five Personality” dengan kinerja pekerjaan, menemukan hanya satu dimensi yaitu ketelitian (conscientiousness) yang berhubungan secara konsisten dengan kinerja pekerjaan (job performance). Penelitian ini akan menyelidiki praktik manajemen HR yang menggunakan tipe kepribadian STIFIn (STIFIn personality) yang dikembangkan oleh Poniman (2009) terhadap peningkatan kinerja pekerjaan.
Manajemen HR berbasis tipe kepribadian STIFIn atau Manajemen HR STIFIn seperti yang didefinisikan didalam Buku Manajemen HR STIFIn (Poniman dan Hadiyat, 2015) adalah praktik pengelolaan sumber daya manusia dengan menggunakan skema tipe kepribadian STIFIn pada tiga kegiatan utama manajemen sumber daya manusia yaitu: 1)Seleksi yang dimulai dari kegiatan perencanaan tenaga kerja, kegiatan rekrutmen dan seleksi karyawan;
2)Retensi yang meliputi manajemen kinerja, manajemen imbal jasa, hubungan industrial dan kepemimpinan; dan
3)Pengembangan yang meliputi kegiatan pelatihan dan pengembangan, dan pengembangan karir.
Konsep HR STIFIn adalah menarik dan menyeleksi orang-orang terbaik, mendayagunakan dengan sistem dan program retensi terbaik, serta memberikan jalan bagi mereka untuk bisa memberkan kontribusi terbaiknya.
Pada perencanaan tenaga kerja, seluruh jenis pekerjaaan dipetakan dan dikelompokan berdasarkan sifat-sifat dari kepribadian STIFIn, agar pencarian sumber tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan penempatan tenaga kerja yang telah dipetakan dengan kebutuhan tipe kepribadian STIFIn, untuk kemudian dilakukan proses seleksi dengan menggunakan skema kepribadian STIFIn pula.
Pada kegiatan utilisasi dan retensi, penerapan HR STIFIn difokusikan pada penerapan kepribadian STIFIn pada penyusunan sistem manajemen kinerja, sistem imbal jasa, pengelolaan hubungan industrial dan pengembangan kepemimpinan. Sementara itu, penerapan HR STIFIn pada kegiatan pelatihan dan pengembangan, dan pengembangan karir, difokuskan pada proses pengembangan bakat dan pengembangan karir melalui proses analisis pelatihan dan penerapan cara belajar dan metode pelatihan yang disesuaikan dengan tipe kepribadian STIFIn.
Perencanaan tenaga kerja dengan skema kepribadian STIFIn difokuskan pada analisis pekerjaan, identifikasi keterampilan (skills) dan kompetensi yang diperlukan yang kemudian dituangkan dalam uraian pekerjaan (job description) yang telah mengidentifikasi kesesuaian dengan mesin kecerdasan STIFIn yang diperlukan.
Uraian pekerjaan tersebut kemudian menjadi dasar dalam proses rekrutmen dan seleksi yang dapat meningkatkan kinerja karyawan setelah mereka masuk ke perusahaan dan bekerja di perusahaan. Dalam Praktik manajemen HR, kegiatan rekrumen dan seleksi bisa memprediksi kinerja karyawan secara signifikan (Jouda, et al., 2016).
Hasil penelitian Tabiu dan Nura (2013) juga menunjukkan pengaruh praktik HRM khususnya pada kegiatan rekrutmen dan seleksi memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja karyawan. Pada penerapan tipe kepribadian STIFIn, penelitian dari Rafianti dan Pujiastuti (2017) pada 15 siswa SMA Negeri 2 Serang, Banten, membuktikan tipe kepribadian STIFIn bisa memprediksi hasil pada kemampuan matematika.
Praktik manajemen HR STIFIn pada kegiatan pendayagunaan sumber daya manusia dan program retensi adalah menyusun sistem manajemen kinerja yang berbasiskan pada skema tipe kepribadian STIFIn, menyusun sistem imbal jasa yang dikaitkan dengan tipe kepribadian STIFIn, pengelolaan hubungan industrial baik pada penciptaan hubungan antar karyawan maupun pada pembinaan hubungan industrial dengan serikat pekerja yang didasarkan pada pemetaan tipe kepribadian dan pola hubungan tipe kepribadian STIFIn, serta pengembangan kepemimpinan yang menggunakan dasar tipe kepribadian STIFIn dalam membangun hubungan pemimpin dan pengikut.
Beberapa penelitian berkaitan dengan sistem dan praktik manajemen sumber daya manusia pada kegiatan manajemen HR STIFIn ini telah membuktikan adanya pengaruh yang signifikan terhadap kinerja karyawan.
Wambua dan Karanja (2016) dalam penelitiannya memberikan bukti adanya pengaruh praktik manajemen imbal jasa, dan penilaian kinerja terhadapberpengaruh positif secara signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian Tabiu dan Nura (2013) juga menunjukkan pengaruh praktik HRM pada kegiatan pendayagunaan karyawan yaitu keterlibatan kerja, sistem penggajian, manajemen kinerja dan kegiatan pemeliharaan lainnya memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja pekerjaan.
Kemudian proposisi yang diajukan oleh Poniman dan Hadiyat (2015) dalam bukunya Manajemen HR STIFIn yaitu adanya pengaruh positif praktik manajemen HR STIFn terhadap peningkatan kinerja karyawan.
Strategi bisnis dan impementasinya pada manajemen sumber daya manusia tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut adalah menyangkut pengetahuan, keterampilan dan kemampuan karyawan terhadap pekerjaan dan tugas-tugas yang diberikan, serta perilaku dan sikap mental karyawan tentang bagaimana berperilaku sesuai dengan nilai-nilai perusahaan untuk ikut aktif mewujudkan pencapaian tujuan perusahaan.
Praktik manajemen HR STIFIn untuk kegiatan pengembangan adalah kegiatan pelatihan dan pengembangan, serta pengembangan karir karyawan. Hassan (2016) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara praktik manajemen sumber daya manusia pada kompensasi, perencanaan karir, penilaian kinerja, pelatihan dan keterlibatan karyawan terhadap kinerja karyawan.
Proposisi Poniman dan Hadiyat (2015) mengajukan bahwa penerapan program pelatihan dan pengembangan, serta pengembangan karir karyawan yang didasarkan pada tipe kepribadian karyawan akan meningkatkan produktivitas dan kinerja karyawan. Pada penelitian ini, kegiatan pengembangan tidak dibuat hipotesis tersendiri, namun digabungkan kedalam kegiatan retensi.
Kinerja pekerjaan didefinisikan sebagai penyelesaian tugas dengan aplikasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan. Dalam artikel Ramawickrama, et al (2017) yaitu “The behavioural outcome of an employee which points out that the employee is showing positive attitudes towards his or her organization” atau dikatakan bahwa hasil perilaku seorang karyawan menunjukkan sikap positif terhadap organisasinya”.
Berdasarkan studi literatur, kinerja pekerjaan (job performance) telah banyak diteliti dan didefinisikan. Porter dan Lawler (1974) mendefinisikan kinerja pekerjaan atau job peformance sebagai fungsi dari kemampuan (ability), keterampilan (skills) dan usaha (effort) dari seseorang atau individual pada suatu situasi.
Kemudian Campbell (1990) mendefiniskkan kinerja pekerjaan (job performance) sebagai perilaku atau aksi dari seseorang yang relevan dengan tujuan organisasi, dan Opata, pada tahun 2015, mendefinisikan kinerja pekerjaan (job performance) yaitu sejauh mana karyawan melakukan tugas dan tanggung jawab yang diemban, dan hasilnya diukur dari kriteria kuantitas kerja (quantity of work) dan kualitas kerja (quality of work).
Kontruks job performance inilah yang akan digunakan dalam penelitian ini yang kemudian menggunakan dimensi dan indikator yang akan diturunkan dalam item-item dari penelitian Koopmans et al., (2014) yaitu: 1) Task Performance; dan 2) Contextual Performance. Untuk dimensi Counter-productive Work Behavior tidak digunakan pada penelitian ini dengan pertimbangan kurang cocok untuk kondisi budaya di Indonesia, dimana seseorang mungkin tidak begitu nyaman jika harus mengisi kuesioner survey yang berisi tentang pernyataan negatif, sehingga dikhawatirkan akan terjadi bias pada hasil survey tersebut.
Borman & Motowidlo (1993) mendefinisikan Task Performance didefinisikan sebagai efektivitas yang digunakan oleh pemegang jabatan untuk melakukan kegiatan yang berkontribusi pada inti teknis organisasi, baik secara langsung dengan mengimplementasikan bagian dari proses teknologinya, atau secara tidak langsung dengan menyediakan bahan atau layanan yang dibutuhkan, misalnya task performance pada pekerjaan Sales, seperti product konwlegde, closing the sale, time management.
Sedangkan contextual performance, berkaitan kontribusi pada efektivitas organisasi dengan cara yang membentuk konteks organisasi, sosial, dan psikologis yang berfungsi sebagai katalis untuk kegiatan dan proses pelaksanaan tugas.
Model Konsep dan Hipotesis Penelitian
Model konsep penelitian ini disajikan pada gambar dibawah ini yaitu Model 1 yang menyelidiki hubungan variabel pada Manajemen HR STIFIn yaitu kegiatan Seleksi (X1) dan Retensi (X2) sebagai variabel eksogen dengan variabel pada kinerja pekerjaan (job performance) yaitu Task Performance (Y1) dan Contextual Performance (Y2), sedangkan Model 2 dibuat untuk menyelidiki hubungan praktik Manajemen HR STIFIn secara keseluruhan (X1) terhadap kinerja pekerjaan secara keseluruhan juga (overall job performance) (Y1).
Pengujian pada kedua model ini diharapkan akan memberikan pandangan dan bukti empirik berbeda, yaitu melihat pengaruh praktik manajemen HR STIFIn yang dilakukan pada masing-masing kegiatan dan jika dilakukan sebagai program integrasi terhadap kinerja pekerjaan baik masing-masing terhadap dimensinya maupun terhadap kinerja pekerjaan secara keseluruhan.
Gambar 1. Model Konsep Penelitian
Sumber: Data diolah oleh peneliti, 2018
Berdasarkan kajian literatur dan model penelitian diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
Model 1
Hipotesis 1: Seleksi berbasis HR STIFIn berpengaruh terhadap Task Performance
Hipotesis 2: Seleksi berbasis HR STIFIn berpengaruh terhadap Contextual Performance
Hipotesis 3: Retensi berbasis HR STIFIn berpengaruh terhadap Task Performance
Hipotesis 4: Retensi berbasis HR STIFIn berpengaruh terhadap Contextual Performance
Model 2
Hipotesis 5: Praktik HR STIFIn secara penuh berpengaruh terhadap Job Performance
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode survei yaitu dengan menyebarkan kuesioner online (google survey) kepada para praktisi HR, meliputi 34 butir pernyataan tertutup, menggunakan Skala Likert poin 5, dengan1 adalah Sangat Tidak Setuju (STS) dan 5 adalah Sangat Setuju (SS). Unit analisis penelitian ini adalah karyawan secara individual pada perusahaan-perusahaan yang mempraktikkan HR STIFIn.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan Manajemen HR STIFIn. Sebanyak 50 responden dihubungi secara personal dengan media sharing Whatsapp (WA) dan diminta partisipasinya untuk mengisi kusioner online yang telah di share link-nya kepada tiap-tiap responden.
Pengukuran variabel kinerja karyawan mengadaptasi pengukuran work performance yang dikembangkan oleh Koopmans (2014), seperti “saya suka menanggung tanggung jawab ekstra” dan menambahkan item-item pernyataan baru yang sesuai dengan konteks mesin kecerdasan melalui mekanisme persetujuan ahli terhadap penyusunan kuesioner.
Contoh item tersebut yaitu “Saya dapat menggunakan potensi mesin kecerdasan yang Saya miliki untuk bekerja baik di organisasi/perusahaan ini”. Sedangkan pengukuran variabel Praktik HR STIFIn memodifikasi pengukuran High-Performance Human Resource Practice Perceptions yang dikembangkan oleh Kehoe dan Wright (2010). Contoh item tersebut adalah “Proses rekrutmen dan seleksi dilakukan dengan skema STIFIn”.
Teknik analisis data menggunakan Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Pemilihan PLS-SEM dikarenakan penelitian ini lebih bersifat memprediksi dan menjelaskan variabel laten daripada menguji suatu teori, dan jumlah sampel dalam penelitian ini tidak besar, serta mengantisipasi bila data terdistribusi tidak normal (Hair et al., 2014).
Penelitian ini menggunakan dua model penelitian, dimana model 1 bertujuan untuk memeriksa pengaruh tiap dimensi dari Praktik HR STIFIn terhadap dimensi-dimensi dari kinerja karyawan secara parsial. Sementara model 2 bertujuan untuk memeriksa pengaruh konstruk Praktik HR STIFIn secara multidimensional terhadap konstruk kinerja karyawan yang berbentuk multidimensional.
Hasil Penelitian
Karakteristik Responden
Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui karakteristik
responden secara umum, dimana yang menjadi responden dalam penelitian ini
adalah karyawan yang bekerja pada perusahaan-perusahaan yang telah memPraktikkan
HR STIFIn. Dari total 100 responden yang
diminta untuk mengisi kuesioner, hanya 50 orang yang bersedia mengisi (response rate 50 %), setelah di seleksi
hanya diperoleh 41 jawaban kuesioner yang layak untuk dianalisis.
Tabel 2. Statistik Profil Responden
Kategori
Karakteristik
Frekuensi
Persentase (%)
Jenis Kelamin
L
25
61
P
16
39
Tipe
Kepribadian
Sensing
8
19,5
Thinking
11
26,8
Intuiting
7
17,1
Feeling
9
22
Insting
6
14,6
Pengendali
Kepribadian
ekstrovert
26
63,4
introvert
15
36,6
Usia
< 25 tahun
9
22
26-35 tahun
13
31,7
36-45 tahun
14
34,1
46-55 tahun
5
12,2
> 55 tahun
0
0
Status
Menikah
31
75,6
Belum Menikah
10
24,4
Pendidikan
SMA
6
14,6
D3
1
2,4
S1
26
63,4
S2
8
19,5
Lama Penerapan
< 1 tahun
14
34,1
1-5 tahun
20
48,8
< 5 tahun
7
17,1
Masa Kerja
< 1 tahun
11
26,8
1-5 tahun
22
53,7
6-10 tahun
3
7,3
> 10 tahun
5
12,2
Sumber: Hasil Pengolahan Data,
2018
Berdasarkan data yang
diperoleh dari 41 responden tersebut, didapatkan karakteristik bahwa mayoritas
responden merupakan laki-laki (61%), mayoritas responden bertipe
kepribadian Thinking (26,8%), mayoritas
responden memiliki pengendali kepribadian ekstrovert (63,4%), mayoritas
responden memiliki pendidikan S1 (63,4%), mayoritas responden berusia antara 36-45 tahun (34,1%), mayoritas responden
memiliki masa kerja selama 1-5
tahun (53,7%), mayoritas responden telah menikah (75,6%), dan mayoritas
responden bekerja pada perusahaan
yang telah menerapkan HR STIFIn selama 1-5 tahun (48,8%).
Uji Validitas
Karena data yang dikumpulkan ini berupa persepsi dari karyawan yang menggunakan skala likert, maka untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan (instrumen penelitian) sudah benar mengukur apa yang ingin diukur dan dipahami dengan baik oleh responden, maka diperlukan uji validitas instrumen. Pada penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel laten yaitu: kinerja karyawan dan Praktik HR STIFIn. Nilai r hitung tiap atribut pernyataan dibandingkan dengan r tabel
Dari hasil pengolahan data menunjukkan semua variabel mempunyai nilai r hitung > 0,361, sehingga semua data dinyatakan valid (berkorelasi signifikan terhadap skor total). Hal ini berarti seluruh item pernyataan pada kuesioner dapat digunakan dalam penelitian.
Uji Reliabilitas
Setelah data dinyatakan valid, maka
selanjutnya dilakukan uji reliabilitas data kuesioner. Hal ini bertujuan apakah
hasilnya relatif stabil dan konsisten. Pengujian ini menggunakan koefisien Cronbach’s Alpha sebagai koreksi. Data
dapat dikatakan reliabel jika nilai koefisiennya lebih besar dari 0,60
(Ghozali, 2009). Berdasarkan hasil uji reliabilitas yang telah dilakukan untuk
semua variabel. Didapatkan skor Cronbach’s
Alpha untuk kinerja pekerjaan sebesar 0,953 dan Praktik HR STIFIn sebesar
0,956. Jadi, instrumen dari kedua variabel tersebut dinyatakan reliabel karena nilai Cronbach’s Alpha > 0,60, sehingga
dapat dilakukan analisis lebih lanjut.
Analisis
Deskriptif
Instrumen yang
digunakan untuk mengukur konstruk adalah kuesioner yang menggunakan skal likert dalam interval 1-5. Untuk
kategori pernyataan dengan jawban sangat tidak setuju dengan nilai satu (1)
sampai dengan sangat setuju dengan nilai lima (5).
Variabel HR STIFIn
Variabel HR STIFIn terdiri dari dua (2) dimensi yang diwakili oleh 15 item pernyataan
Pada Tabel 3. Disajikan rata-rata jawaban responden dan banyaknya
responden yang memberikan jawaban ragu-ragu atau tidak tahu. Oleh karena itu,
secara keseluruhan masih ada permasalahan dalam pelakasanaan Praktik HR STIFIn
terutama dalam hal pemberian informasi saat proses rekrutmen (34,1%) dan
keterlibatan karyawan dalam improvement
team work dan problem solving (22%).
Variabel Kinerja Pekerjaan
Variabel
kinerja pekerjaan (job performance) terdiri dari dua (2) dimensi yang diwakili
oleh 19 item pernyataan.
Berdasarkan
Tabel di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah responden merasa kinerja
pekerjaan masih kurang terutama dalam indikator menangani tangunggjawab ekstra
(19,5%) dan menghadapi tekanan dalam pekerjaan (14,6%).
Uji Model
Model 1
Hasil Uji Outer Model
Sebelum
melakukan analisis model struktural terlebih dahulu harus melakukan pengukuran
model (measurement model), hal ini dimaksudkan untuk menguji reliabilitas dan validitas dari
indikator-indikator pembentuk konstruk laten yaitu dengan melakukan confirmatory factor analysis (CFA). Pada model 1 akan dilakukan analisis
konfirmatori first order yaitu
menguji konstruk laten dengan indikator-indikatornya. Dalam hal indicator reliability, dari 19 indikator
pada pengolahan kedua (pada pengolahan pertama terdapat 34 indikator)
kesemuanya memilki loading factor
> 0,70. Rule of thumb yang
digunakan untuk menilai faktor loading
yaitu harus lebih besar dari 0,70 untuk penelitian yang bersifat confirmatory, dan nilai faktor loading
antara 0,60-0,70 masih dapat diterima untuk penelitian yang bersifat exploratory (Latan & Ghozali, 2017).
Tabel 5 berikut menyajikan hasil analisis faktor konfirmatori first order.
Indikator
Factor Loading
Konstruk Laten
Composite Reliability
Cronbach’s Alpha
AVE
Akar Kuadrat AVE
Full collin. VIF
S1
0,844
Seleksi (HR STIFIn)
0,901
0,853
0,694
0,833
1,95
S2
0,829
S3
0,857
S4
0,801
R1
0,829
Retensi (HR STIFIn)
0,963
0,955
0,788
0,888
2,573
R3
0,871
R5
0,808
R6
0,921
P2
0,944
P3
0,924
P4
0,907
K1
0,748
Task Performance
0,890
0,835
0,670
0,818
2,998
K2
0,847
K4
0,813
K5
0,86
K11
0,879
Contextual
Performance
0,902
0,853
0,698
0,835
2,642
K12
0,885
K14
0,845
K15
0,722
Tabel 5. Analisis Faktor
Konfirmatori First Order
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2018
Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, dapat dilihat bahwa seluruh item pembentuk konstruk laten adalah valid dengan nilai faktor loading yang dihasilkan > 0,7. Selanjutnya, dalam convergent validity, nilai AVE untuk setiap konstruk dimensi sangat baik yaitu > 0,5 sehingga telah memenuhi kriteria validitas konvergen. Begitu juga dengan internal consistency, nilai composite reliability yang dihasilkan setiap konstruk dimensi juga sangat baik yaitu > 0,7 dan nilai Cronbach’s Alpha (α) berada antara 0,835 - 0,955 berarti nilai reliabilitas yang dihasilkan setiap konstruk laten juga sangat baik yaitu > 0,7 sehingga memenuhi reliabilitas konsistensi internal. Nilai Full Collinearity VIF untuk setiap konstruk laten juga sangat baik yaitu < 3,3 sehingga tidak terdapat masalah collinearity di dalam model.
Selanjutnya indikator reflektif pembentuk konstruk laten dalam
penelitian juga akan diuji discriminant
validity. Salah satu cara melihat discriminant
validity dengan membandingkan korelasi antar variabel dengan square root of varianceextracted (nilai dari akar kuadrat AVE).
Tabel 6 berikut mendeskripsikan discriminantvalidity dari penelitian ini (model
1).
Tabel 6. Discriminant Validity Model 1
Seleksi
Retensi
Task Performance
Contextual Performance
Seleksi
O,833*
Retensi
0,640
0,888*
Task Performance
0,624
0,734
0,818*
Contextual Performance
0,622
0,682
0,753
0,835*
Sumber: Hasil
Pengolahan Data, 2018
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh nilai korelasi antar variabel (konstruk laten) di bawah nilai akar kuadrat AVE (lihat dengan garis diagonal, bertanda ‘*’). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua variabel memenuhi kriteria discriminant validity dan dapat dikatakan model sangat baik. Nilai discriminant validity yang tinggi memberikan bukti bahwa suatu konstruk adalah unik dan benar-benar berbeda dari konstruk lainnya, serta mampu menangkap fenomena yang diukur. Singkatnya, model pengukuran berhasil melewati sejumlah analisis yang ketat yaitu validitas konvergen, validitas diskriminan, reliabilitas, dan multikolinieritas. Hasil analisis CFA mengungkapkan bahwa model tidak memiliki masalah pengukuran data karena telah memenuhi kriteria validasi data yang diterima secara luas dan dapat dianalis lebih lanjut.
Hasil Inner Model
Berdasarkan hasil output general result dari SEM-PLS dengan
menggunakan software WarpPLS 6.0 dapat
diketahui model mempunyai fit yang baik, dimana nilai P-value untuk Average Path
Coefficient (APC), Average R-squared (ARS), dan Average Adjusted R-squared (AARS) < 0,001 dengan nilai APC =
0,430, ARS = 0,608, dan nilai AARS = 0,587. Begitu juga dengan nilai Average
block VIF (AVIF) dan Average Full
Collinearity VIF (AFVIF), nilai yang dihasilkan ideal yaitu AVIF = 1,646,
dan AFVIF = 2,966 (< 3,3), yang berarti bahwa tidak ada masalah
multikolinearitas antar indikator dan antar variabel eksogen. GoF yang
dihasilkan yaitu 0,649 > 0, 36 yang berarti bahwa fit model yang baik. Untuk
indeks Symson’s Paradox (SPR), R-squared
Contribution Ratio (RSCR), Statistical Suppression Ratio (SSR), dan Nonlinear Bivariate Causality Direction
Ratio (NLBCDR) menghasilkan nilai
sama dengan 1, yang berarti tidak ada problem
kausalitas di dalam model.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adjusted R-squared adalah 0, 658
(65,8%), hal ini berarti besar variabel laten dependen (task performance) dijelaskan sebesar
65,8 % oleh 2 variabel laten independen (seleksi dan retensi) dan sisanya 34,2
% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Sementara, koefisien Adjusted
R-squared untuk contextual
performance sebesar 0,516 (51,6%) yang berarti 2 variabel seleksi dan
retensi dapat menjelaskan variasi contextual
performance sebesar 51,6 % sisanya 48,4 % dijelaskan oleh variabel lain
diluar model. Nilai Q-squared (Q2) yang dihasilkan untuk setiap variabel
dependen (endogen) > 0, yaitu Q2
seleksi = 0,674 dan Q2 retensi = 0,536, yang berarti bahwa model
mempunyai predictive relevance.
Gambar 2. Analisis Model Struktural Model 1
Sumber: Hasil Pengolahan
Data, 2018
Tabel 7. Pengujian Hipotesis
Model 1
Hipotesis
Path
Path Coefficients
P-value
H1
Seleksi Task Performance
0,345
0,017*
H2
Seleksi Contextual
Performance
0,369
0,003**
H3
RetensiTask Performance
0,560
<0,001
H4
RetensiContextual
Performance
0,446
<0,001
*sig <0,05 (5 %), **sig <0,01 (1%)
Sumber:
Hasil Pengolahan Data, 2018
Gambar 2 dan Tabel
7 menerangkan hasil pengujian hipotesis (analisis jalur), dimana menunjukkan
hasil seleksi berpengaruh positif dan signifikan terhadap task performance (β = 0,345, p = 0,017), terhadap contextual performance (β = 0,369, p =
0,003) hal ini berarti mendukung hipotesis H1 dan H2. Selanjutnya, retensi
mempengaruhi task performance secara
positif dan signifikan (β = 0,369, p< 0,001) yang artinya mengkonfirmasi
hipotesis H2. Retensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap contextual performance (β = 0,369, p<
0,001), dengan demikian hipotesis H4 juga diterima.
Model 2
Hasil Uji Outer Model
Langkah
selanjutnya, peneliti menganalisis model 2 yaitu analisis terhadap indikator
pembentuk konstruk second order.
Berarti analisis dilakukan dari konstruk laten dan kontruk dimensinya. Tabel 8 di bawah ini
adalah hasil analisis faktor konfirmatori tingkat kedua (second order CFA). Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori second order di atas, dapat dilihat
bahwa indikator pembentuk (dimensi) seluruh konstruk laten adalah valid dengan
nilai faktor loading yang dihasilkan
> 0,7. Selanjutnya, nilai AVE untuk setiap konstruk laten sangat baik >
0,5 berarti telah memenuhi kriteria validitas konvergen.
Tabel 8. Analisis Faktor
Konfirmatori Second Order
Dimensi
Factor Loading
Konstruk Laten
Composite
Reliability
Cronbach’s Alpha
AVE
Akar Kuadrat AVE
Full collin. VIF
Seleksi
0,892
HR STIFIn
0,901
0,781
0,82
0,905
2,643
Retensi
0,918
Task Performance.
0,939
Job Performance
0,934
0,859
0,876
0,936
2,643
Contextual Performance
0,933
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2018
Begitu juga dengan nilai Composite
Reliability (CR) dan nilai Cronbach’s
Alpha (α) nilainya > 0,7, berarti nilai reliabilitas yang dihasilkan
setiap konstruk laten juga sangat baik dan memenuhi reliabilitas konsistensi
internal. Nilai Full Collinearity VIF
untuk setiap konstruk laten juga sangat baik yaitu < 3,3 sehingga tidak
terdapat masalah collinearity di
dalam model. Selanjutnya indikator reflektif pembentuk konstruk laten dalam penelitian
juga akan diuji discriminant validity.
Salah satu cara melihat discriminant
validity dengan membandingkan korelasi antar variabel dengan square root of varianceextracted (nilai dari akar kuadrat AVE).
Tabel 9 berikut mendeskripsikan discriminantvalidity Model 2 penelitian ini.
Tabel 9. Discriminant Validity Model 2
HR STIFIn
Job Performance
HR STIFIn
0,905*
Job Performance
0,788
0,936*
Sumber: Hasi Pengolahan
Data, 2018
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai korelasi antar
variabel (konstruk laten) di bawah nilai akar kuadrat AVE (lihat dengan garis
diagonal, bertanda ‘*’). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua variabel
memenuhi kriteria discriminant validity
dan dapat dikatakan model sangat baik.
Hasil Inner Model
Berdasarkan hasil output general result SEM-PLS dapat diketahui
model mempunyai fit yang baik, dimana
nilai P-value untuk Average Path
Coefficient (APC), Average R-squared (ARS), dan Average Adjusted R-squared (AARS) < 0,001 dengan nilai APC =
0,788, ARS = 0,622, dan nilai AARS = 0,612. Begitu juga dengan nilai Average Full Collinearity VIF (AFVIF),
nilai yang dihasilkan ideal yaitu AFVIF = 2,643 (<
3,3), yang berarti bahwa tidak ada masalah multikolinearitas. GoF yang
dihasilkan yaitu 0,726 > 0, 36 yang berarti bahwa fit model yang baik. Untuk indeks Symson’s Paradox (SPR), R-squared Contribution Ratio (RSCR),
Statistical Suppression Ratio (SSR), dan
Nonlinear Bivariate Causality Direction Ratio
(NLBCDR) menghasilkan nilai sama dengan 1, yang berarti tidak ada problem kausalitas di dalam model.
Gambar 3. Analisis Model Struktural Model 2
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2018
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adjusted R-squared adalah 0, 612
(61,2%), hal ini berarti besar variabel laten dependen (job performance) dijelaskan sebesar
61,2 % oleh variabel laten independen (HR STIFIn) dan sisanya 38,8 % dijelaskan
oleh variabel lain diluar model. Nilai Q-squared
(Q2) yang dihasilkan untuk variabel dependen (endogen) > 0,
yaitu Q2 = 0,617, yang berarti bahwa model mempunyai predictive relevance.
Tabel 10. Pengujian Hipotesis
Model 2
Hipotesis
Path
Path Coefficients
P-value
H5
HR STIFIn“ Job Performance
0,788
<0,001
Sumber:
Hasil Pengolahan Data, 2018
Gambar 3 dan Tabel
10 menerangkan hasil pengujian hipotesis (analisis jalur model 2), dimana
menunjukkan hasil HR STIFIn berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pekerjaan (job performance) (β = 0,788,
p<0,001), dengan demikian hasil ini mendukung hipotesis H5.
Kesimpulan, Implikasi dan Saran
Berdasarkan
hasil uji hipotesis H1 dan H2 menunjukkan bahwa seleksi berbasis HR STIFIn
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pekerjaan (jobperformance) yaitu task performance dan contextual performance. Hasil
penelitian ini sesuai dengan proposisi
yang diajukan didalam buku penerapan seleksi dengan menggunakan kepribadian STIFIn
meningkatkan kinerja pekerjaan (job
performance). Kemudian berdasarkan hasil uji hipotesis H3 dan H4 menunjukkan bahwa retensi berbasis
HR STIFIn berpengaruh positif dan signifikan terhadap job
performance (task performance dan
contextual performance). Hasil penelitian ini sejalan dengan proposisi yang diajukan didalam buku Manajemen HR STIFIn bahwa
penerapan manajemen retensi berbasis kepribadian STIFIn meningkatkan kinerja
pekerjaan (job performance). Sementara
itu, berdasarkan hasil uji hipotesis H5 menunjukkan
bahwa praktik HR STIFIn berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pekerjaan (job performance). Hasil
penelitian ini memberikan
bukti empirik terhadap proposisi yang diajukan Poniman dan Hadiyat (2015) bahwa
praktik manajemen HR STIFIn dapat meningkatkan kinerja pekerjaan secara
keseluruhan.
Dari hasil
analisis model 1 diperoleh bahwa seleksi, retensi, task performance, dan contextual
performance mempunyai hubungan satu sama lain. Begitu juga dengan indikator
masing-masing variabel eksogen dan endogen mempunyai pengaruh yang signifikan.
Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut: (1) Seleksi berbasis STIFIn
pelaksanaannya sudah cukup baik, namun ada beberapa yang harus ditingkatkan
lagi, yakni dalam hal pemberian informasi saat proses rekrutmen. (2) Retensi
erat kaitannya dengan keinginan bertahan dalam suatu perusahaan. Masih ada
sebagian responden yang menilai bahwa karyawan belum dilibatkan secara baik
dalam hal team workimprovement dan problem solving. (3) Pendapat mengenai task performance sudah cukup baik. Namun untuk hal mampu menangani
tanggung jawab ekstra masih ada yang merasa tidak mampu. (4) Pendapat mengenai contextual perfromance juga
diaktegorikan baik, hanya saja ada pendapat yang merasa tidak mampu menghadapi
tekanan dalam pekerjaan. Untuk melihat secara detail respon tiap mesin kecerdasan
terhadap item pernyataan yang diajukan dapat dilihat pada lampiran. (5)
Terbukti secara empiris seleksi berbasis HR STIFIn mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap task performance dan contextual performance. (6) Terbukti
secara empiris retensi berbasis HR STIFIn mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap task performance dan overall performance. (7) Proses
retensi memiliki pengaruh yang lebih tinggi (nilai signifikansi yang lebih
baik) dibandingkan proses seleksi dalam case
ini. Hal ini telah disampaikan secara deskriptif pada bab pembahasan, di mana
karyawan menilai masih ada kekurangan dalam hal pelaksanaan seleksi. (8)
Sementara dari hasil analisis model 2 diperoleh bahwa Praktik HR STIFIn secara
penuh berpengaruh signifikan terhadap
kinerja pekerjaan (job performance).
Dalam usaha
meningkatkan kinerja pekerjaan, maka organisasi atau perusahaan harus
benar-benar memperhatikan variabel-variabel yang mempengaruhi kinerja pekerjaan
dan dalam penelitian telah ditunjukkan bahwa praktik HR STIFIn
dapat mempengaruhi kinerja pekerjaan secara kuat. Hal ini dapat dilakukan
dengan melakukan penelitian secara berkala, sehingga dengan demikian organisasi
dapat mengantisipasi dan memperbaiki faktor-faktor yang diketahui sebagai
penyebab penurunan kinerja pekerjaan terutama ditinjau dari klasifikasi mesin
kecerdasan. Adapun hal yang dapat dilakukan adalah (1) Memberikan informasi
tentang organisasi kepada para pelamar saat proses rekrutmen, agar calon
karyawan mengetahui tujuan, visi dan misi organisasi tersebut. (2) Meningkatkan
keterlibatan karyawan dalam proses team
work improvement dan problem solving,
agar tercipta suatu iklim kerjasama yang baik meski berbeda-beda personality. (3) Mencari solusi yang
tepat sesuai dengan mesin kecerdasaan agar dapat memetakan karyawan-karyawan
mana saja yang dapat menangani pekerjaan ekstra dan kuat dalam menghadapi
tekanan.
Keterbatasan Penelitian dan Arah Penelitian
Selanjutnya
Penelitian
ini memiliki keterbatasan dalam hal jumlah responden. Penelitian berikutnya dapat
dilakukan kembali dengan jumlah responden yang lebih besar sehingga dapat
melihat pengaruh faktor demografi dari tiap-tiap mesin kecerdasan terhadap
hubungan Praktik HR STIFIn dan Job
performance. Hal ini diharapkan agar konsepnya dapat dibangun dengan lebih
matang dan sempurna di masa yang akan datang.
————— &&&
——————–
Lampiran
Tabel
3. Rata-rata Jawaban Tidak Setuju Variabel Praktik HR STFIn per indikator
Indikator
Mean Jawaban
Sangat Tidak Setuju
Tidak setuju
Kurang Setuju (Netral)
Proses
rekrutmen dan seleksi dilakukan dengan skema STIFIn (S1)
–
–
17,1%
Perusahaan
melakukan proses interview dan tes psikologi berbasis STIFIn (S2)
–
–
9,8%
Para
kandidat/pelamar mendapatkan informasi tentang organisasi/ perusahaan saat
proses rekrutmen (S3)
–
4,9%
34,1%
Organisasi/perusahaan
menjalankan proses penempatan berbasis STIFIn (S4)
–
2,4%
14,6%
Manajemen imbal
jasa di perusahaan dihubungkan dengan matriks kecerdasan (R1)
2,4%
7,3%
17,1%
Para karyawan
dilibatkan dalam proses improvement team work, problem solving, dan diksusi
kelompok (R2)
–
2,4%
22%
Karyawan dapat
mengimplementasikan ide-ide baru dalam pekerjaannya (R3)
2,4%
–
17,1%
Karyawan
menerima evaluasi kerja (R4)
4,9%
–
17,1%
Karyawan
menerima komunikasi secara formal mengenai tujuan organisasi dan target
individual (R5)
–
4,9%
14,6%
Puas dengan
model performance appraisal dengan skema STIFIn (R6)
–
4,9%
14,6%
Organisasi/perusahaan
menyusun rencana pelatihan dengan skema STIFIn (P1)
–
9,8%
12,2%
Organisasi/perusahaan
mengidentifikasi kebutuhan training berdasarkan skema STIFIn (P2)
–
7,3%
17,1%
Metode
pembelajaran dalam pelatihan disesuaikan dengan cara belajar dari
masing-masing mesin kecerdasaan (P3)
2,4%
2,4%
12,2%
Karyawan yang
berkualifikasi diberikan peluang untuk dipromosikan secara fair dan
terbuka (P4)
–
2,4%
17,1%
Organisasi/perusahaan
menanamkan konsep sukses mulia hingga akhir karir (P5)
–
–
14,6%
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2018
Tabel 4.
Rata-rata Jawaban Tidak Setuju Variabel Job Performance per indikator
Indikator
Mean Jawaban
Sangat Tidak
Setuju
Tidak setuju
Kurang Setuju
(Netral)
Mempertahankan
prestasi kerja dan produktivitas (K1)
–
4,9%
4,9%
Bersemangat
dalam pekerjaan (K2)
–
–
–
Menyelesaikan
tugas dengan tepat waktu (K3)
–
–
9,8%
Mengingat
target kerja yang perlu dicapai (K4)
–
–
4,9%
Dapat
menggunakan potensi mesin kecerdasan yang dimilki untuk bekerja baik di
organisasi/perusahaan ini (K5)
–
–
–
Memberikan
bantuan kepada rekan kerja ketika diminta atau dibutuhkan (K6)
–
–
4,9%
Suka menangani
tanggungjawab ekstra (K7)
–
–
19,5%
Menyampaikan
simpati dan empati kepada rekan kerja yang berada dalam kesulitan (K8)
–
–
4,9%
Aktif
berpartisipasi dalam diskusi kelompok dan rapat kerja (K9)
–
–
7,3%
Memuji rekan
kerja atas pekerjaan baik yang mereka selesaikan (K10)
–
–
2,4%
Menjaga
koordinasi yang baik dengan rekan-rekan kerja (K11)
2,4%
–
–
Berbagi pengetahuan
dan ide dengan rekan kerja (K12)
–
–
4,9%
Berkomunikasi
efektif dengan rekan kerja untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
(K13)
–
–
2,4%
Bekerja dengan
kecerdasan kolektif untuk meningkatkan kerja tim yang efektif (K14)
–
–
7,3%
Mampu
menghadapi tekanan dalam pekerjaan (K15)
–
4,9%
14,6%
Saling
pengertian dengan rekan kerja untuk mendapatkan solusi-solusi dalam pekerjaan
(K16)
–
–
–
Mampu bersabar
ketika mendapatkan kritik dari rekan kerja (K17)
–
2,4%
9,8%
Nyaman dengan fleksibilitas
pekerjaan (K18)
–
2,4%
4,9%
Dapat mengatasi
perubahan organisasi dari waktu ke waktu (K19)
(1) the description of students’ learning interests before and after being given STIFIn learning technique, (2) the description of the implementation of STIFIn learning guidance, (3) whether the STIFIn learning guidance improve students’ learning interests.
The study employed quantitative approach with quasi experiment research. The samples were the students at SMP Katolik Rajawali Makassar in South Sulawesi province with the total of 22 students who were divided into two groups, namely experiment group and control group. Data were collected by employing learning interest scale with 30 question items. Data were analyzed using descriptive analysis, Wilcoxon match pairs test and gain score.
The results of the study reveal that
(1) the average score of learning interests in experiment group in pretest is 42.16% and the posttest is 61.94%; whereas, the average score in experiment group in pretest is 65.62% and the posttest is 67.58%
(2) the implementation of STIFIn learning guidance covers preparation stage, implementation stage, and evaluation stage, and
(3) the STIFIn technique (Sensing, Thinking, Intuiting. Feeling, Insting) learning guidance gives influence to improve students’ learning interests at SMPN Katolik Rajawali Makassar in South Sulawesi province. Keywords: STIFIn learning guidance, learning interests
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
(1) untuk mengetahui gambaran minat belajar siswa sebelum dan sesudah diberikan teknik STIFIn Learning, (2) untuk mengetahui gambaran pelaksanaan teknik STIFIn Learning Guidance. (3). untuk mengetahui teknik STIFIn Learning Guidance meningkatkan minat belajar siswa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif jenis penelitian quasi eksperimen. Sampel penelitian ini adalah Siswa di SMP Rajawali Makassar Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 22 siswa terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu skala minat belajar sebanyak 30 item pernyataan. Teknik analasisi data menggunakanan analsis deskriptif, uji wilcoxon match pairs test dan gaing score.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
(1) minat belajar pada kelompok eksperimen saat pretest rata 42,16% dan 61,94% saat posttest sedangkan pada kelompok kontrol saat pretest rata-rata 65,62% dan pada saat posttest 67,58%, (2) pelaksanaan teknik STIFIn Learning Guidance meliputi tahap persipaan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi dan (3) teknik STIFIn (Sensing, Thingking, Intuiting, Feeling, Insting) Learning Guidance berpengaruh meningkatkan minat belajar siswa SMP Rajawali Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Kata kunci: STIFIn Learning Guidance, minat belajar
Pendahuluan
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistematik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran, dan latihan kepada siswa agar mereka berkembang sesuai dengan potensinya.
Sekolah mempunyai andil yang sangat besar dalam mengarahkan dan membentuk siswa menjadi insan yang berkembang secara oprtimal, sebagaimana yang tertuang dalam Bab 1 Pasal 1 UU RI No. 20 tahun 2003 (Departemen Agama RI, 2007) bahwa melalui sekolah, siswa mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan potensi kepribadian secara utuh, baik yang menyangkut aspek intelektual, emosional, moral, sosial, fisik, maupun aspek agama.
Sekolah tidak hanya berperan sebagai transformer ilmu pengetahuan, tetapi sekolah juga berperan dalam mengembangkan potensi diri siswa untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kehadiran lembaga pendidikan beserta komponen sebagai sarana pendidikan tidak akan cukup untuk memfasilitasi tumbuh kebamag peserta didik.
Oleh sebab itu Peserta didik atau siswa diharapkan mampu terlibat aktif mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki. Salah satu hal yang paling penting yang sangat mendukung berhasilnya siswa dalam belajar yaitu bagaimana siswa membangkitkan semangat dan minat untuk belajar.
Namun ironisnya, berbagai permasalahan yang dialami peserta didik terkait dengan kegiatan belajarnya. Berdasarkan survey awal dan studi dokumen yang dilakukan peneliti pada tanggal 4-5 November 2016 di SMP Rajawali Kotamadya Makassar Provensi Sulawesi Selatan diketahui bahwa masih terdapat terdapat siswa yang sering bolos sekolah maupun jam pelajaran.
Permasalahan minat belajar siswa yang rendah di SMP Rajawali perlu dilakukan melalui metode yang menarik. Berbagai pendekatan belajar yang dikembangkan untuk meningkatkan minat dan hasil belajar siswa. Menurut Syah (2006), faktor pendekatan belajar yaitu segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses mempelajari materi tertentu.
Penggunaan metode pengajaran tradisional tidak memberikan dampak positif terhadap minatbelajar dalam kelas reguler (Freeman, et al, 2014). Siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran yang aktif meyenangkan memiliki minat belajar yang tinggi (Ambarini, Rosyidi & Ariyanto, 2013; Gani, 2015).
Pendapat tersebut menegaskan bahwa proses pembelajaran siswa membutuhkan strategi yang menarik dan menyenangkan bagi siswa. Salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran yaitu STIFIn Learning yang dikembang oleh Farid Poniman. STIFIn. Badaruzaman (2013:71), mmengatakan bahwa STIFIn Learning adalah sebuah teknik belajar yang bertujuan menjadikan iii aktivitas belajar menjadi lebih mudah dan nyaman, sekaligus memberikan hasil belajar yang lebih maksimal sesuai dengan bakat alami.
Pendekatan yang sederhana, akurat dan aplikatif dapat menggunakan teknik STIFIn Learning yang memaksimalkan bakat alamiah atau cara belajar sesuai dengan mesin kecerdasan dan kepribadian. Hasil penelitian Mundiri & Zahra (2017: 201) menunjukkan bahwa metode STIFIn sangat membantu santri menghafal alQur’an dengan lebih mudah dan nyaman, karena menyesuaikan metode dengan potensi genetik masing-masing.
STIFIn digunakan untuk mengetahui dominasi kecerdasan mesin agar siswa lebih nyaman dalam proses pembelajaran yang diharapkan bisa meningkatkan daya matematis (Rafianti & Pujiastuti, 2017).
Pendapat terebut menunjukkan bahwa teknik STIFIn Learning merupakan metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan mampu memberi kemudahan bagi siswa dalam belajar. Beberapa penelitian tersebut menegaskan bahwa minat belajar sangat menetukan proses kegiatan belajar siswa. Minat belajar siswa sangat dipengaruhi oleh strategi pembelajaran yang dilakukan pendidik di kelas.
Dalam penelitian ini akan fokus mengkaji penggunaan teknik STIFIn Learning dalam meningkatkan minta belajar siswa. Dengan demikian, pertanyaan penelitian ini adalah apakah teknik STIFIn Learning Guidance berpengaruh terhadap peningkatan minat belajar siswa SMP Rajawali Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan kuantitatif jenis quasi eksperimental dengan PretestPosttest Control Group Design. Penelitian ini terdiri dua variabel yaitu STIFIn learning guidance sebagai variabel bebas (independen) dan minat belajar sebagai variabel terikat (dependent).
Populasi dalam penelitian ini sebanyak 88 siswa dan sampel yang digunakan 22 siswa dengan menggunakan teknik simple random sampling. Sampel dibagi menjadi dua yaitu kelompok eksperimen yang diberi perlakuan beripa teknik STIFIn Learning dan kelompok kontrol tidak diberi perlakuan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala yang berisi 30 item pernyataan terkait minat belajar siswa dengan skala penilaian 1-4. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis uji wilcoxon Signed Ranks Test (Z) dengan taraf kesalahan ditetapkan sebesar 0,05%.
Hasil Penelitian
Kelompok Ekserimen Untuk mengetahui kecendrungan minat belajar siswa SMP Rajawali Makassar pada kelompok eksperimen dan kontrol digunakan skor rerata ideal sebagai perbandingan. yang diadopsi dari Saefuddin Azwar (2014: 147). Berikut ini merupakan klasifikasi kecendrungan minat belajar sebagai berikut.
1. bahwa terdapat 10 siswa yang memiliki kecendrungan minat belajar rendah dan 1 siswa yang memiliki kecendrungan minat belajar berkategori 1 tinggi.
2. bahwa terdapat 9 siswa yang memiliki minat belajar berkategori tinggi dan 2 siswa yang memiliki minat belajar berkategori sangat tinggi.
3. bahwa terdapat 9 siswa yang memiliki minat belajar berkategori rendah dan 2 siswa yang memiliki minat belajar berkategori tinggi.
4. bahwa terdapat 5 siswa yang memiliki minat belajar berkategori rendah dan 6 siswa yang memiliki minat belajar berkategori tinggi.
Adapaun desain treatmen STIFIn Learning Guidance yang digunakan pada kelompok eksperimen meliputi tahap persipaan, tahap pelaksanaan dan tahap evaluasi,
sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberi perlakuan namun tetap mendapat layanan bimbingan dan konseling yang ada di SMP 0 5 10 15 sangat rendah rendah tinggi sangat tinggi Kecendrungan minat belajar siswadi SMP Rajawali Makassar jumlah 0 5 1 0 sangat rendah rendah tinggi sangat tinggi Kecendrungan minat belajar siswadi SMP Rajawali Makassar jumlah 0 2 4 6 8 10 sangat rendah rendah tinggi sangat tinggi Kecendrungan minat belajar siswadi SMP Rajawali Makassar jumlah 0 5 1 0 sangat rendah rendah tinggi sangat tinggi Kecendrungan kecendrungan minat belajar siswadi SMP Rajawali Makassar jumlah v Rajawali Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen, nilai nilai Z hitung lebih besar dari nilai Z tabel yaitu 2,914 > 2,262 dan nilai signikasi hitung lebih kecil dari taraf kesalahan 5% yaitu 0,003< 0,05.
Hasil analisis pada kelompok kontrol menujukkan bahwa nilai Z tabel yaitu 1,646 < 2,262 dan nilai signifikasi hitung lebih besar dari taraf kesalahan 5% yaitu 0,100 > 0,05. Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik STIFIn learning berpengaruh meningkatkan minat belajar siswa kelas VII di SMP Rajawali Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.
Pembahasan
Minat belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran merupakan sesuatu yang penting dalam kelancaran proses belajar mengajar. Minat belajar dalam adalah ketertarikan dan keinginan besar untuk berhasil dalam proses belajar yang ditandai dengan perasaan senang, kesadaran serta memberikan perhatian yang besar dalam aktivitas belajar.
Syah (2006) lebih spesifik medefinisikan minat belajar sebagai kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu yang ingin dicapai. Siswa yang mempunyai minat belajar tinggi dalam proses pembelajaran dapat menunjang proses belajar mengajar untuk semakin baik, begitupun sebaliknya minat belajar siswa yang rendah maka kualitas pembelajaran akan menurun dan akan berpengaruh pada hasil belajar.
Minat belajar siswa dapat diketahui dari pernyataan senang atau tidak senang maupun suka atau tidak suka terhadap suatu objek tertentu, tetapi dapat juga ditunjukkan melalui partisipasi aktif dalam suatu kegiatan belajar. Siswa yang memiliki minat terhadap belajar cenderung memberikan perhatian yang lebih besar dan bersungguhsungguh.
Minat dapat disebut sebagai faktor kunci/ penggerak yang mendorong siswa untuk memberikan perhatian serta terlibat hadir dalam berbagai kegiatan, sehingga adanya minat diharapkan siswa dapat berkonsentrasi dalam berbagai aktivitas belajar. Berbagai upaya yang harus dilakukan mengingat pentinganya minat belajar bagi siswa.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan minat belajar siswa yaitu melalui teknik STIFIn Learning. Badaruzaman (2013:71), mmengtakan bahwa STIFIn Learning adalah sebuah teknik belajar yang bertujuan menjadikan aktivitas belajar menjadi lebih mudah dan nyaman, sekaligus memberikan hasil belajar yang lebih maksimal sesuai dengan bakat alami.
Pendekatan yang sederhana, akurat dan aplikatif dapat menggunakan teknik STIFIn Learning yang memaksimalkan bakat alamiah atau cara belajar sesuai dengan mesin kecerdasan dan kepribadian. Hasil penelitian Mundiri & Zahra (2017: 201) menunjukkan bahwa metode STIFIn sangat membantu santri menghafal al-Qur’an dengan lebih mudah dan nyaman, karena menyesuaikan metode dengan potensi genetik masing-masing.
Hasil penelitian yang dilakukan di SMP Rajawali Makassar Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa teknik STIFIn learning berpengaruh meningkatkan minat belajar siswa. Wilcoxon match pairs test yang menunjukkan nilai Z hitung lebih kecil dari nilai Z tabel yaitu 1,646 < 2,262 dan nilai signikasi hitung lebih besar dari taraf kesalahan 5% yaitu 0,100 > 0,05.
Hasil uji Wilcoxon match pairs test diperkuat hasil analisis gaing score yang menunjukkan bahwa terdapat 4 siswa yang memiliki peningkatan minat belajar yang berkategori tinggi dan 7 siswa yang memiliki peningkatan minat belajar yang berkategori sedang setelah mendapakan teknik STIFIn learnin. Rata-rata skor minat belajar yang dimiliki siswa SMP Rajawali Makassar pada saat pretest yaitu 42,16%. Selanjutnya, rata-rata skor minat belajar yang dimiliki siswa SMP Rajawali Makassar pada saat saat posttest mengalami peningkatan menjadi 61,94%.
Hasil lain dari penelitian ini menunjukanan bahwa siswa di SMP Rajawali Makassar Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak mendapat Teknik STIFIn learning menunjukkan tidak terdapat perubahan signifikan pada minat belajarnya. Wilcoxon match pairs test menunujukkan bahwa nilai Z hitung lebih kecil dari nilai Z tabel yaitu 1,646 < 2,262 dan nilai signikasi hitung lebih besar dari taraf kesalahan 5% yaitu 0,100 > 0,05.
Hasil uji Wilcoxon match pairs test diperkuat hasil analisis gaing score yang menunjukkan bahwa tidak terdapat siswa yang memiliki peningkatan minat belajar. Rata-rata skor minat belaja yang dimiliki siswa SMP Rajawali Makassar pada saat pretest yaitu 65,62%. Selanjutnya, rata-rata skor minat belajar yang dimiliki siswa SMP Rajawali Makassar pada saat saat pengukuran kedua mengalami peningkatan menjadi 67,58%.
Hasil lain dari analisis tersebut menunjukkan bahwa gain score yang pada kelompok eksperimen sebesar 0,1 dengan kategori rendah. Hasil analisis gaing score menegaskan bahwa siswa siswa kelas SMP Rajawali yang tidak mendapat perlakuan berupa teknik STIFIn learning tidak mengalami peningkatan minat belajar secara signifikan.
Hasil penelitian ini didukung oleh Nistiningtyas (2013) yang menyatakan bahwa hasil tes STIFIn di kelas VIII SMP IT Al- Amri Probolinggo mampu mengindetifikasi tujuh tipe kecerdasan yang berdampak pada peningkatan prestasi belajar. Teknik STIFIn learning mampu memberikan kenyaman, kemudahan bagi siswa dalam proses pembelajaran.
Complex domain occurs when a lot of knowledge overloads and knowledge trek phenomenon appeared with the raise of product complexity and the explosion of knowledge and information. The knowledge content of complex domain is difficult to organize.
One of the complex domain is STIFIn Fingerprint Personality Solution. However, it is difficult to organize the knowledge of STIFIn solution since it is a complex domain. Knowledge acquisition also a part of the problem because there is an only little number of STIFIn certified trainer that expert in STIFIn solution. The other circumstances are an STIFIn solution also have the possibility to be extended in future.
To solve the following problem, Structured Knowledge is used to structure the knowledge content that will be more effectively organize the content in order to enhance reusable and extendable of the knowledge model. Structured Knowledge contains a wealth information, it can effectively help to carry out the knowledge of the complex domain.
There are many ways to express the structured knowledge, Ontology is one of them. In this paper will discuss the development of STIFIn Ontology based on METHONTOLOGY approach.
The personality is hypothesized to lead to ideas associated with the conduct
[1]. In the different words, studying outer behaviors may be used to persona analysis seeing that conduct is the expression of persona. Human personality may effect on many social sports including instructional overall performance
[2], getting to know approach preference
[3] and academic motivation. With admiring to different research have located that personality to be associated with academic performance, the desire of electives, finishing university schooling, and desire of career
[4-6]. There are numerous distinct schemes of in determining character types of personality. As an example, the learning fashion stock (LSI; Kolb, 1984), the big five frameworks (Costa and McCrae, 1992), and the MBTI (Myers, 1993), and STIFIn via Farid Poniman. In this take a look at, STIFIn Fingerprint test with the aid of Farid Poniman has been selected as a complicated area. While there are lots of overloads and knowledge trek phenomenon regarded with the rise of product complexity and the explosion of understanding and facts.
The hassle in STIFIn Fingerprint check is the end result from the fingerprint test are complicated facts and information isn’t in an understanding way. Any other trouble raised does no longer have enough knowledge in this subject, so it hard to locate a knowledge. Due to lack of understanding, the understanding desires to capture the knowledge and flip it into knowledge model. Established understanding could be very popular in structuring the complex understanding. One in all a method to shape the information is Ontology.
Ontologies at the moment are central to many packages which include semantic web provider, information management, digital commerce, and medical expertise gadget. An absolutely described and well-structured technique can reduce ontology development time and increase the rate of success for an assignment. But, there exist no mature information technique fro ontology development.
METHONTOLOGY, though, has been adopted in several ontology developments because of its area independent characteristic. On this study, standards that have considered for selecting an ontology development method have been the diploma of adaptability by way of non-specialists, the ranges of information of the technique, whether to aid iterative development responsibilities, pointers for formalization, the device helps, recommended techniques, and so on.
2 Based totally on the standards, METHONTOLOGY had been observed as the most suitable method to develop an ontology. The goal of this study, primarily based on development enjoy, to analyze the ontology improvement lifestyles cycle counseled in METHONTOLOGY. Discover problems associated with the METHONTOLOGY technique, OWL-DL, and Protégé-OWL additionally discussed later. This paper is prepared as follows.
Phase 2 offers a brief overview of METHONTOLOGY, OWL-DL, and Protégé-OWL. Phase 3 describes the entire ontology development existence cycle of STIFIn ontology. Section 4 discussion lessons found out from this venture. Eventually, Section 5 summaries from the examine and indicates
2 STIFIn Ontology Development Background
2.1 METHONTOLOGY METHONTOLOGY
turned into in the beginning derived from the enjoy of developing Chemical Ontology at Polytechnic college of Madrid [7]. It became first delivered in 1999. Then, in 2004, it became accelerated and categorized into three vast strategies.
Every technique contains unique activities:
(1) the management manner consists of scheduling, manipulate and fine guarantee,
(2) the improvement technique is split into specification, conceptualization, formalization, implementation, and upkeep, and (three) the aid technique consists of 5 activities, i.e., information acquisition, evaluation, documentation, configuration management, and integration.
METHONTOLOGY adopts a few tips from the IEEE general for software program improvement (IEEE, 1996). In this paper, we mainly focus on the development process because that is the most important process in METHONTOLOGY.
2.2 OWL-DL
OWL is an ontology language for the Semantic Web, developed by W3C Web Ontology Working Group. OWL is classified into three sub-languages: OWL-Lite, OWL-DL, and OWL-Full. OWL-Lite is the syntactically simplest sub-language. OWL-DL is much more expressive than OWL-Lite and based on Description Logics (DL).
DL is a decidable fragment of the first order logic, and therefore, amenable to automated reasoning. OWL-Full is the most expressive sublanguage. However, because it is impossible to perform automated reasoning on OWL-Full sub-language, we selected OWLDL as our ontology development language. 2.3 Protege-OWL
Although METHONTOLOGY recommends WebODE as a technological framework, we selected Protégé-OWL for the subsequent reasons. First, Protégé-OWL is more harmonized with OWL-DL than other tools. Second, it is platform- unbiased in order that builders can apply it to any platform.
Third, due to the fact Protégé-OWL is a free and open ontology editor, this device has high accessibility as compared with different ontology development tools. Furthermore, Protégé-OWL supports diverse plug-ins. The most useful plug-in for our project is OntovizTab which shows an ontology with graphical perspectives.
Although the development of Protégé-OWL has been traditionally driven with the aid of biomedical applications [8], the system is area independent. Although the development of Protégé-OWL has been historically driven by biomedical applications [8], the system is domain in dependent with any other domains
3 METHONTOLOGY Development Life-Cycle
MENTHONTOLOGY were divided into three broad processes. Each process contains specific activities. The three broad processes are a Pre-development process (Scheduling and Specification), the Development process (Conceptualization, Formalization) and Post-development process (Validation). . The figure 3.1 below shows the step in developing ontology using METHONTOLOGY approach.
3.1 Pre-Development Process: Scheduling and Specification
There are two phases involved in this stage which is scheduling and specification process. The aim for the scheduling activity is to identify the essential task, organize those tasks and to allocate time and resource. During planning stage also need to decide what tools want to use, what kind of language to use and the software for the development.
This is a crucial stage where if the task not planning well, it will be caused to project delay and cost overrun. To avoid that from happening, during the pre-development process, scheduling stage must be done correctly and accurately. Meanwhile, in the specification stage, the domain and the scope of ontology are identified, which include the purpose of the ontology, the intended users, and others.
The goal of the specification phase is to produce either an informal, semi-formal or formal knowledge representation using a knowledge representation tools. Several activities had been carried out such as the search for existing knowledge ontology, domain analysis and knowledge acquisition in order to obtain an ontology specification document.
The output for this activity is the concept mapping of STIIFn knowledge using CMap tools. Cmap tools were used to described and recorded hundreds of concepts, their definitions, binary relationships between them in the form of theoretical axioms, and other contextual information
3.2 Development Process
As recommended by METHONTOLOGY, we first performed a scheduling activity in order to plan the main tasks for the STIFIn ontology development. The objective of the scheduling activity is to identify the essential tasks, to organize those tasks, and to allocate time and resources (e.g., people, a development tool, an ontology language, etc.). We chose OWL-DL as an ontology language and Protégé-OWL as a development tool.
3.2.1 Conceptualization
The focus in this stage is to arrange and structure the knowledge acquired from the exterior illustration and implementation. The conceptualization stage starts with changing informal data into semi-formal specifications using a set of intermediate representations (IRs) primarily based on tabular and graph notations supplied by using 4 METHONTOLOGY.
These IRs (i.e. concept, attributes, relations, axioms, and rules) are precious due to the fact they are easily understood by means of area expert and ontology developer The strategy used to conceptualize STIFIn knowledge is the use of a manual strategy which is embedded inside the chosen texts. The conceptualization manner started out with the identification and recording of all phrases and principles of interest.
There are five necessary concepts as the sub-ontologies underneath which other principles could be placed. These main principles included: 1) Personality, 2) Learning, 3) Career and 4) Teaching. Next, other personality-related standards had been identified and placed under their associated categories.
Cmap tools were used to described and recorded thousands of concepts, their definitions, binary relationships between them in the structure of theoretical axioms, and different contextual information about them. However, this preliminary thought mission underwent many variations as improved with conceptualization task.
3.2.2 Formalization of Conceptualization
IRS developed for STIFIn ontology during the conceptualization were finally formalized and implemented. Protégé- OWL were used to convert the formal model into an OWL-DL. This tool allows us to store the specified concepts in a class hierarchy and provides facilities for the description and definition of their properties, constraints, and their links with other concepts.
The figure below shows the hierarchy of STIFIn ontology. Protégé-OWL supports graphical representation of a class hierarchy though OWLVIZ plug-in. This visualization function helps developers and users understand the structure of the ontology more easily than merely showing a text-based ontology structure. Figure 3.2 show the hierarchy of STIFIn ontology.
Fig 3.2 Hierarchy of STIFIn Ontology The class hierarchy was developed and formalized by means of a combination of top-down and bottom-up classification strategies [8]. Using a top-down approach, it began with the creation and description of the seven specified general concepts or sub-ontologies. Each of these top-level concepts, then, integrated a few relevant middle-level concepts. Some of these middle-level concepts were defined via a top-down method.
The classified concepts of the class hierarchy were then defined and described using the object properties. Object properties represent ontological relationships which link different classes (concepts) together. Furthermore, the tools allowed to add a comment, label, definition, and other metadata to concepts and axioms and restrict their application to certain contexts.
3.3 Post-Development Process
The ontology should be validated before they are used or reused. Ontology evaluation has three types of evaluation which are ontology verification, ontology validation, and ontology assessment [3]. Ontology verification is to ensure whether the ontology is implemented correctly according to all the expected requirements. Meanwhile, ontology validation refers to whether the ontology concepts really represent the real world for which the ontology was created.
In order to ensure a workflow to be executed correctly, expert validation technique was used to validate the workflow ontology and knowledge. First, expert checked whether all individual concepts were consistent and ensured no contradictory concept could be inferred from other concept and axioms. Then, expert ascertained the classification hierarchy and disjoint knowledge to compute completeness. Finally, expert will fill the form regarding the knowledge insight in developing STIFIn ontology.
4 Discussion
In this section, we analyze METHONTOLOGY with a critical view based on our STIFIn ontologydevelopment experience in order to address some issues of METHONTOLOGY. We also discuss some problems of OWLDL and Protégé-OWL. First of all, we present several drawbacks of the METHONTOLOGY approach.
First, METHONTOLOGY does not provide specific guidelines for assigning individual developers to certain tasks. METHONTOLOGY consists of three different processes (i.e., management, development, support process). According to METHONTOLOGY, those processes are carried out simultaneously and each of them is performed by various developer groups (e.g., domain experts, ontology experts, etc).
However, it does not explain how to allocate those groups to specific tasks, how to combine those tasks together once divided works are completed, and so on. Second, one of the important motivations to adopt METHONTOLOGY is that even a domain expert is supposed to build an ontology easily without help from ontology experts. However, according to our experience, that is not the case.
Even though METHONTOLOGY could be fully understood by a domain expert, it is not easy to develop an ontology by understood by a domain expert, it is not easy to develop an ontology by the domain expert alone without help from an ontology specialist. Third, METHONTOLOGY focuses heavily on conceptualization and this could be a problem.
We found that the IRs developed during the conceptualization phase are sometimes not seamlessly codified into an ontology language. This can cause delays during the formalization and implementation stages. Fourth, METHONTOLOGY does not provide sufficient explanations about methods and techniques applied in each stage, such as a detailed technique on how to extract concepts and methods on identifying relations among concepts.
5 Conclusion
METHONTOLOGY by actually developing an ontology for real-world use since we would like to analyze the ontology development methodology, the ontology development language, and the development tool. There are numerous contributions on this research. First, despite the fact that previous studies commonly focused on the usage of in preference to the analysis of METHONTOLOGY, for the primary time, we tried to research the method with a vital view with the intention to locate its strengths and weaknesses.
Second, primarily based on an expansion of reviews, this take a look at discusses lessons found out from the development revel in and gives useful hints to practitioners who need to increase an ontology based on the METHONTOLOGY technique on their tasks. Our examine also offers a few insight to ontology technique researchers who want to accumulate a greater superior ontology development technique.
STIFIn ontology may be reused by means of other character trits or similar domain names considering that it’s far advanced based totally on standard principles usually used in the area. However, there are some obstacles of the STIFIn project. First, even though METHONTOLOGY encouraged builders to use WebODE as a building tool, we had to adopt Protégé-OWL because WebODE was no longer available.
Even though Protégé-OWL is available and one of the most broadly used ontology improvement tools, the adoption of Protégé-OWL as a substitute of WebODE would possibly influence our conclusion on the issues of METHONTOLOGY. Second, considering none of the preceding research tried to boost an ontology for the personality traits, the fine of two STIFIn ontology can’t be in contrast and evaluated.
In conclusion, this learn about provides several contributions to the ontology methodology and sensible implications in the ontology improvement research field. Therefore, we agree with that our find out about will promote further research on this area. In the future, a comparison between WebODE and Protégé-OWL ought to be made to examine their variations when adopting the METHONTOLOGY.
References
1. Corcho, O., M. Fernández-López, A. Gómez-Pérez, andA. López-Cima, Building legal ontologies with METHONTOLOGY and WebODE in Law and the Semantic Web. Legal Ontologies, Methodologies, Legal Information Retrieval, and Applications, Benjamins, V. R., Casanovas, P., Breuker, J., and Gangemi, A. (Eds.), March 2005, Springer-Verlag, LNAI 3369. pp. 142-157.
2. O. Corcho, M. F. López and A. Gómez-Pérez, “Methodologies,tools and languages for building ontologies. Where is their meeting point?,” Data and KnowledgeEngineering, vol. 46, issue 1, July 2003, pp. 41-64.
3. Fernández-López, M., A. Gómez-Pérez, and N. Juristo, METHONTOLOGY: From Ontological Art Towards Ontological Engineering, Symposium on Ontological Engineering of AAAI, Stanford (California), March , 1997.
4. M. Fernández-López, A. Gómez-Pérez, and A. Pazos-Sierra, “Building a Chemical Ontology Using Methontology and the Ontology Design Environment,” IEEE IntelligentSystems, Vol. 1(January/February), 1999, pp.37-46.
5. Gómez-Pérez, A, Some Ideas and Examples to Evaluate Ontologies, tech. report KSL-94-65, Knowledge System Laboratory, Stanford Univ, 1994.
6. A. Gómez-Pérez and J. Pazos, “Evaluation and assessment of knowledge sharing technology,” In Mars, N.J. (ed.): “Towards Very Large Knowledge Bases,” IOS Press, 1995, pp. 289-296.
7. Gómez-Pérez, A., M. Fernández-López, and O. Corcho, Ontological Engineering: with xamples from the areas of knowledge management, London: Springer-Verlan, 2004.
8. J. Gennari, M. Musen, R. Fergerson, W. Grosso, M.Crub´ezy, H. Eriksson, N. Noy, and S. Tu, The evolution of Protégé-2000: An environment for knowledgebase systems development,” International Journal ofHuman-Computer Studies, Vol. 58(1), 2003, pp. 89–123.ds1`].
Abstract—Early Childhood Education (ECE) is the stage and stage of learning era of golden age. At this time the child experiencing the process of growing the most optimal, both cognitive and mental attitudes. For that required a quality learning process that is able to grow the character. The leadership of ECE heads influences the effectiveness of character education. One STIFIn method is believed to have a formulation in character education.
The study used a qualitative approach, with a single case study design. The results showed that the principal in TK Plus Mutiara Ilmu, Pandaan was quite effective in interpersonal communication with the teacher. The principal implements a transactional leadership pattern that brings the teacher’s moral imperative in applying the child’s character development. Teachers with STIFIn methods are more open and have a positive attitude.
Based on the STIFIn circulation theory, the principal has relatively good team, and is in a strong position.In addition supported by subordinates, it also effectively affects subordinates, in addition STIFIn methods are able to provide differences and effective changes in interpersonal communication to teachers and children in growth character. Keywords—early childhood leadership, character growth, STIFIn method
I. INTRODUCTION
Since the mid-1990s the Government of Indonesia has begun to seriously respond to the existence of education for children of early ages by making policies set forth in Law No.20 of 2003 on National Education System. This certainly takes into consideration many aspects so that the existence of this long-standing education has gained a response and is part of the national education system.
Early childhood education is considered the most strategic,because it determines the quality of human resources and nation leaders in the next 30-40 years.
(Sonhadji, 2014). Considering that, it becomes very important for early childhood as the first place of character development of children that will determine in the process of its continuation.
The challenges of early childhood education in the future face obstacles, called Herawati (2016), covering:
(1) teacher education level where only 23.06% are educated strata-1 (S1), Meanwhile, according to National Education Standards should be ECE teachers both formal and non formal minimum S1 PAUD (S1 ECE), psychology, or education;
(2) the issue of the quality of ECE programs and institutions;
(3) still one-third of children aged 3-6 years who have not received ECD services;
(4) family involvement that has not been aligned with ECE institution. Whereas early childhood is the work to build the foundation of the nation and grow children develop. So all parties, including parents, should support the effort;
(5) early childhood learning that should be 80% attitude building, nowadays it focuses on academic reading-write-counting learning.
Seeing the latest problems and challenges requires leadership leadership that can foster children’s character from an early age. Leadership is the ability to influence a group of members to work to achieve goals and objectives. Hughes, Ginnet & Curphy (2012) defines leadership as the process of influencing an organized group to achieve group goals (Arifin, 2010).
Yukl (1981) defines “Leadership has been defined in terms of individual traits, behavior, influence over other people, interaction patterns, role relationships, occupation of an administrative position, and perception of other regarding legitimacy of influence.” ,
Jillian Rodd (2006) gives the definition: “Leadership is understood as a share process where effective leaders draw on a range of strategies to achieve positive and ethical outcomes for members of the group or the organization.”
Leadership is also interpreted as (1) science and art, and
(2) rational and emotional. Interpreted science as well as art emphasizes that the issue of leadership can look back in terms of theoretical and practical aspects. Likewise, when leadership involves the rational and emotional side of human experience. Leadership includes a number of actions and influences based on reason and logic and inspiration and the calling of the soul (Hughes, Ginnet, & Curphy, 2012) aspects of interacting with others. Communication will affect someone, both known and unknown at all (Arifin, 2010).
This type of interpersonal communication is a communication process This is an open access article under the CC BY-NC license, the Authors. Published by Atlantis Press. 295 Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 66 1st Yogyakarta International Conference on Educational Management/Administration and Pedagogy (YICEMAP 2017) that is viewed from perception of others (interpersonal).
Interpersonal communication through face-to-face meetings, allowing each culprit to capture the reactions of others directly, either verbally or non-verbally (Morissan, 2013). Effective interpersonal communication can also be explained from the perspective of The 5 Inevitable Laws of Effective Communication, namely Respect, Empathy, Audible, Clarity, and Humble (REACH).
This is relevant to the principle of interpersonal communication, ie as an effort to gain attention, recognition, love, sympathy, and positive response from others (Suranto, 2011). Meanwhile, Devito (2011), put forward five positive attitudes that need to be considered when someone is doing interpersonal communication.
The five positive attitudes, including indicators: (1) openness; (2) empathy; (3) supportiveness; (4) positiveness; And (5) equality.
The declaration of strengthening character education by Ministry of Education Affairs, Indonesia Republic brings great hope about the change of constructive and substantive educational paradigm. Constructive because forming human character is necessary human being creative and critical and will become trend setter for environment.
Human character formation process is not a short process but requires time, strategy, finance and integrated system that can support character education into a school culture and family culture Stage of education and character planting at least through four stages.
First, Knowing, at this stage children are given knowledge about good and bad behavior and norms that exist in society. Secondly, reasoning provides an understanding of the child that raises awareness and can feel. Third, feeling, feel the impact when children do good both at school and at home.
Fourth, acting where the child takes action as a manifestation of knowledge, understanding and feelings of children so that will be internalized in the child’s personality. The process of internalization of character education can not be done if it does not involve parents who have a major contribution in child growth, especially at the early childhood stage.
Early childhood education is one of the many developed strategic programs Wortham (2005) states “Assessment should involve the child and Family”. That is, the identification of the needs of early childhood education should involve parents and nursemaid as a source of information because many children spend time at home.
Pre-school, kindergarten and early primary education are more understanding of the needs and abilities of children in learning but it will be difficult if at the beginning of the lesson do not get information from parents about children’s habits, child preferences and the ability of children who conspicuous.
So the information obtained at home is developed in schools. School mother also serves as a means of communication between parents and institutions early childhood and then after the children get character education can be developed and implemented at home ECE is part of lifelong education, as a concept that has been popularized by UNESCO with the term “Life Long Education”.
This is in line with the Islamic teachings on lifelong education. The concept of Islam on this subject which has been popularized by UNESCO has been a guide in elevating human dignity, including Indonesian people.
Therefore, the children of this nation need to get coaching from an early age through education so that they will not be left behind by other nations in the world (Mulyasa, 2012). Character education for early childhood has a higher meaning than moral education because it not only deals with true-false issues but how to inculcate habits about good behaviors in life, so that children have awareness, and a high understanding, and a concern and commitment to apply Virtue in everyday life.
Since character is a natural trait for early childhood to respond to the situation morally, it must be manifested in concrete action through habituation to behave kindly, honestly, responsibly, and respectfully to others.
Character education requires the involvement of stakeholders including the components that exist within the education system itself, namely: curriculum, lesson plans, learning process, assessment mechanism, relationship quality, learning management, school management, selfdevelopment of learners, empowerment of infrastructure, Financing, and work ethic of all citizens and the school environment.
The success of character education for early childhood is dependent on the presence or absence of awareness,understanding, awareness, and commitment of various parties to education. The concept of STIFIn is built by the theories of experts in each field which then elaborated.
There are three terrors that form the basis of the STIFIn concept, namely:
(1) Basic Function Theory of pioneering analytical psychology Carl Gustav Jung who said that there are four basic human functions namely Sensing, Thinking, Feeling, Intuition. Of the four basic functions, only one of them is dominant;
(2) The Hemisphere Theory of a neuroscientist Ned Hermann who divides the brain into four quadrants of the left and right limbic, as well as the left and right cerebral; And
(3) Brain Strata Theory of Triune (three in one brain) from neuroscientist, Paul MacLean who divides the human brain based on the evolutionary results: the human brain, mammals, and reptiles (Hunt & Love, 2002; Buzan, 2005). The STIFIn concept explains many things, proving that this concept has new synthesis results. STIFIn was developed based on seven theories (Poniman, Nugroho, & Azzaini, 2003); (Poniman, 2015),
among others:
(1) The theory of crossingas superior and inferior in one package.This theory explains the cross-linkage of intelligent Intuiting and Intuiting-Thinking-Feeling interactions;
(2) The theory of slicing equations (between the quadrant and diagonal poles), ie the interconnectedness of each other, such as: Thinking – Intuiting has similarities in investigative work and analysis. In addition, compiled Sensing – Feeling in 296 Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 66 terms of social relationships;
(3) Theory of a five-sided social relation (STIFIn Circulation Theory). STIFIn describes the interaction of social interaction, in two conditions, namely (a) mutual support, and (b) mutual conquering relationships;
(4) The theory of alignment of body metabolism based on the machine of his intelligence. STIFIn explains the biological condition of a person in harmony between the intelligence engine with the metabolism elements of each MK,
namely: (a) Sensingorgan of the digestive system (stomach); (b) Thinking-organ excretion system (kidney); (c) Intuiting-organ synthesis system (liver) and nervous system; (d) respiratory / respiratory organisms; And (e) Instinct-organ of the circulatory system and the center of equilibrium;
(5) Calibration theory based on intelligence machine. STIFIn reveals how each intelligence engine releases its pressure and regains its best state;
(6) Genetic theory according to the machine of intelligence. Based on intelligence machines and intelligence drives,STIFIn groups personality genetics or intelligences into nine groups,
(7) the theory of the genetic strata. The concept of dividing STIFIn ranks the sequence against human genetics. Here is the sequence of genetic strata from highest to low
namely:
(a) gender; (b) machine of intelligence; (c) drive of intelligence; (d) hardware capacity; and (e) blood type.
II. RESEARCH METHODS
Research conducted by conducting experiments to the principal and some teachers. Teachers are divided according to their class groups, namely the teachers of KB1 (KB group 1), A1 (TK A group 1), A2 (TK A group 2), KB2 (KB group 2), B1 (TK B group 1). And B2 (TK B group 2).
To the principal and teachers of KB1, A1 and B1 will be treated by STIFIn method, ie by doing a test to know the PG of each teacher. Another treatment is to introduce STIFIn concepts to principals and teachers, including the effectiveness of communicating with after knowing each PG (teacher and principal).
Meanwhile, teachers of KB2, A2 and B2 will not be treated with the STIFIn method, meaning that the teachers will not recognize each other’s PG, so the principal and teacher do not know it.
To this group of teachers will not be introduced about the concept of STIFIn, as well as PG owned by the principal. So it will be left natural in terms of interacting and communicating. While the principal and the two groups of teachers are also distributed questionnaires / questionnaires and interviews to find out more about effective communication patterns developed so far including after understanding the concept and method STIFIn (teacher group 1).
III.RESULTS AND DISCUSSION
A. Personality genetic examination From the observations made by researchers during being in TK Plus Mutiara Ilmu Pandaan, and conducted examinatio of teachers, then obtained data according to the table. 1 as follows.
TABLE I. LIST OF INTELLIGENCE MACHINES – PERSONALITY GENETIC Responder Position Personality Genetic Headmaster headmaster Sensing extrovert (Se) Teacher 1 Teacher KB–A Sensing Introvert (Si) Teacher 2 Teacher TK – A1 Instinct (In) Teacher 3 Teacher TK – B1 Thinking Introvert (Ti) Teacher 4 Teacher KB–B unknown Teacher 5 Teacher TK – A2 unknown Teacher 6 Teacher TK – B2 unknown Based on the results of examination on each principal, teacher KB1, teacher A1 and teacher B1 which can be seen intable 2 the following matrix relationship.
TABLE II.
MATRIX OF MK / PG RELATIONSHIP BETWEEN PRINCIPAL AND TEACHER
Same Conquer Mendukung Teacher KB1 (Si) Sama Conquer Promote Teacher A1 (In) Conquered Conquered Supported Teacher B1 (Ti) Supported Supported Promote From the above matrix, the principal’s position is in a relatively strong area because in addition to being supported by A1 teachers and supporting teachers B1 is also a “conqueror” for KB1 teachers. This means, the principal (Se) must play some positions as a leader.
First, the principal becomes an equal partner of the KB1 (Si) teacher. Second, directing and mentoring teachers A1 (In), and thirdly, to teacher B1 (Ti), the principal becomes a facilitator and mentor for the teacher she supports.
Thus, for teachers already known to each MK / PG, the principal must adjust the pattern of interpersonal communication to each teacher of his various MK / PG.
B. Intake of Interpersonal Communication Data From interviews and interviews and questionnaires distributed to principals and teachers with results as Table 3 below. 297 Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 66
TABLE III.
ACCUMULATED PRINCIPAL DATA IN STIFIN TREATMENT
No Aspect Strongl y agree Agre e Ordinar y diasgre e Strongly diasgree
1 Openess 31% 46% 23% 0% 0%
2 Emphaty 23%38% 38% 0% 0%
3 Supportiness 23% 0% 31% 46% 0%
4 Possitivenes s 39% 50% 11% 0% 0%
5 Equality 61% 33% 6% 0% 0%
Percentage of data distribution 37% 35% 20% 8% 0% The data in Table 3, generally indicates that the principal is relatively open in communicating with 37%. In addition the principal is considered quite open (46%), empathy to his subordinates (38%), and always positive (50%).
The principal also has parallels with the teachers in interpersonal communication. However, the principal has no supportive attitude to subordinates in interpersonal communication. As for teachers, in the treatment group obtained the following table 4 below.
Percentage of data distribution 36% 39% 14% 11% 0% The data above shows that the tendency of teachers who already get an explanation of the concept of STIFIn has a positive value. In the openness aspect (openness) which 46% indicates that the teacher is very open in communicating.
Teachers also always think positively (possitiveness) as much as 48%, and tend to equalize as much as 50% in interpersonal communication. While in the attitude of support (41%) and have a sense of empathy (41 $%) in interpersonal communication, which it means quite well. The group of teachers who are not treated, obtained data as in table 5 below.
TABLE V.
RESULTS OF TEACHER DATA OUTSIDE STIFIN TREATMENT
No. Aspect Strongl y agree Agre e Ordinar y diasgre e Strongly diasgree
1 Openess 38% 33% 21% 5% 3%
2 Emphaty 28% 41% 26% 3% 3%
3 Supportin ess 13% 41% 31% 13% 3%
4 Possitiven ess 48% 35% 17% 0% 0%
5 Equality 37% 50% 13% 0% 0%
Percentage of data distribution 34% 40% 20% 4% 1% The data above shows that 40% of the overall data has a good tendency toward the five aspects of interpersonal communication. The openness aspect of teachers reaches 38%, emphaty 41%, supportiveness 41%, positive attitude (possitiveness) reaches 48%, and has 50% equality.
C. Results of Growth Assessment of Student Character From the results of treatment to two different groups of teachers, hen carried out the observation of the learning process students in the classroom.
In this section, observations are made by focusing on two independent character values and communication. Observations were made on the KB classes (two classes), TK A (two classes) and TK B (two classes) where each teacher taught.
The following is a table 6a and 6b on the comparison of assessment results in each class.
TABLE VIA. COMPARISON OF TREATMENT CLASSES AND NON SELF-TREATMENT VALUES
COMPARISON OF TREATMENT CLASS AND NON TREATMENT OF COMMUNICATION VALUE
Group 1 Above Average Below Average Group 2 Above Average Below Average Amou nt % Amou nt % Amou nt % Amou nt % KB1 4 5 7 3 4 3 KB2 3 4 3 4 5 7 TK A1 3 3 0 7 7 0 TK A2 6 6 0 4 4 0 TK B1 7 7 8 2 2 2 TK B2 3 4 4 6 5 6 298
Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 66 From the table above shows that, in general, the comparison between group / group 1 and group / group 2 in terms of achievement above the average standard of independent ability, each of 57% (Group 1) versus 45% (Group 2) .
It can be seen in more detail where each of the highest achievement is on Group 1 KB1 = 57%; TK A1 = 70%; And TK B1 = 44%. While the lowest achievement (low student score) in Group 1 occurred in the B1 TK class of 56%, while on the same level in Group 2 67%. The highest attainment (high student scores) was achieved by 60% of TK A2 class, where there was a difference of 10% compared to 70% of TK A1.
From the data it can be said that the growth of independent characters tend to occur in Group 1, the group that was given the influence STIFIn method. While on communication skills, it can be seen on the whole that the comparison between Group 1 and Group 2, each of 55% (Group 1) and 49% (Group 2).
When viewed further, then each high value achievement is in Group 1 is KB1 = 57%; TK A1 = 30%; And TK B1 = 78%. The attainment of low grades occurred in 70% of TK A1 classes, and only 40% of low-grade students in the A2 A (60% high grade group is the largest in Group 2). While the achievement of high value in Group 1 is in the class of TK B1 sebear 78%.
From the data and description it can be said that the character of communication skills for students tends to grow better in the class in Group 1 whose teachers have been treated with the STIFIn method. From the above phenomenon affirms that mutually open and mutually recognizable communication, it will facilitate a person to act and take strategic and technical decisions appropriately.
This is what happens after the teachers who already know each other including the leader (principal) so that will facilitate the teacher in carrying out learning to his students. IV.CONCLUSION From the above description can be concluded that the principal in TK Plus Mutiara Pandaan Science quite effective in interpersonal communication with teachers.
The principal implements a transactional leadership pattern that brings the teacher’s moral imperative in applying the child’s character development.
Teachers with STIFIn method are more open and have a better positive attitude compared with unknown teachers personality with STIFIn method. The ability of teachers to understand the potential behavior of children will be easy to approach and treatment to each child in the right way so that children are effective in playing while learning with the growth of character.
Based on the STIFIn circulation theory, the principal has relatively good team, and is in a strong position. Besides supported by subordinates, it also effectively affects subordinates, in addition STIFIn method is able to provide differences and effective changes in interpersonal communication to teachers and children with attitude open.
Principals should use the STIFIn concept to facilitate their leadership process in school, by conducting checks to find out the personality and intelligence of each teacher.
So that will provide an open-endedness to each other that makes the understanding of each personality is known by the principal and other teachers, and eventually will be achieved effective interpersonal communication according to the concept of Johari Window.
To facilitate the learning process and achieve effective learning, schools can perform tests / tests with STIFIn methods to be done such as: class mapping based on the intelligence group of each student, choosing the right teacher so that the teacher style can occur the same as student learning style. Teachers can make well prepared lesson plans, and soon.
REFERENCE [1] Andang. (2014). Manajemen & Kepemimpinan Kepala Sekolah. Sleman: Ar Ruzz.
[2] Arifin, I. (2010). Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Sekolah Berprestasi: Studi Multi Kasus pada MIN Malang I, MI Mamba’ul Ulum, dan SDN Ngaglik I Batu Malang. Yogyakarta: Aditya Media
[3] Arifin, I. (2012). Kepemimpinan Kepala PAUD dalam Mengimplementasikan Pembelajaran Sentra: Studi Kasus PAUD Unggulan Nasional Anak Saleh Malang. Yogyakarta: Aditya Media.
[4] BERITASatu.com. (2016). Delapan Masalah PAUD di Indoenesia (http://www.beritasatu.com/pendidikan/353926-inidelapan-masalah-paud-di-indonesia.html). Jakarta: BERITASatu.com. Diambil kembali dari http://www.beritasatu.com/pendidikan/353926-ini-delapanmasalah-paud-di-indonesia.html
[5] Buzan, T. (2005). The Mind Set: Use Your Head, Use Your Memory, The Speed Reading Book and The Mind Map Book. London: BBC Worldwide.
[6] Crow, L., & Crow, A. (1991). Educational Psychology. San. Antonio: Texbook of Advanced Education Psychology.
[18] Piaget, J., & Inhelder, B. (2010). Psikologi Anak (Cet. 1 ed.). (M. Jannah, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 299 Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), volume 66
[19] Poniman, F. (2015). Penjelasan Hasil Tes STIFIn: The Nine of Genetic Personality. Jakarta: Yayasan STIFIn.
[20] Poniman, F., Nugroho, I., & Azzaini, J. (2003). Kubik Leadership. Bandung: Mizan.
[21] Robbins, S. P. (2006). Organizational Behavior: Concepts, Controversies, and Applications. Englewood Clift, New Jersey: Prentice Hall.
[22] Rodd, J. (2006). Leadership in Early Childhood (3rd ed.). Crows Nest, NSW: Allen & Unwin
[23] Sonhadji, A. (2014). Manusia, Teknologi dan Pendidikan: Menuju Peradaban Baru. Malang: UM Press.
[24] Suranto, A. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[25] Wortham, S. C. (2005). Assesment in Early Childhood Education. Columbus, Ohio: Merill, in Prentice Hall.
[26] Yukl, G. A. (1981). Leadership In Organizations. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.